Faisal Basri

Jakarta, Aktual.com – Setelah penantian panjang hampir genap dua dasawarsa, akhirnya perusahaan pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) memberikan status investment grade dengan menaikkan long-term sovereign credit rating Indonesia. Pertimbangan utama S&P meningkatkan peringkat Indonesia adalah langkah-langkah efektif pemerintah dalam mengelola belanja dan penerimaan untuk menstabilkan keuangan negara.

“Kita perlu waspada karena justru faktor anggaran atau APBN yang paling berpotensi menimbulkan instabilitas makroekonomi. Pertama, sejak 2012 APBN mengalami defisit primary balance. Berarti, pendapatan pemerintah pusat dikurangi pengeluaran pemerintah pusat di luar pembayaran bunga utang mengalami defisit,” ujar Ekonom Faisal Basri dilansir dari lamannya, di Jakarta, Minggu (23/7).

Lebih lanjut dikatakan bahwa Primary balance yang tekor mengindikasikan pemerintah harus berutang untuk membayar bunga utang. Dengan kata lain pemerintah menghadapi tekanan likuiditas. Defisit primary balance meningkat tajam dari Rp 53 triliun pada 2012 menjadi 142 triliun pada 2015. Tahun lalu mengalami penurunan menjadi Rp 126 triliun. Pada APBN 2017, defisit primary balance  tercantum sebesar Rp 109 triliun.

“Kedua, pembayaran bunga utang pemerintah kian merongrong APBN. Pada 2015 pembayaran bunga menyedot 8,6 persen dari pengeluaran total. (Sebagai perbandingan, Amerika Serikat yang nisbah utangnya jauh lebih tinggi dari Indonesia hanya menyisihkan 6 persen dari APBNnya untuk membayar bunga.) Beban bunga naik menjadi 9,8 persen pada 2016 dan naik lagi menjadi 10,9 persen pada APBN 2017,” tambahnya.

Ketiga, pada tahun 2017, pembayaran bunga utang telah menyamai belanja modal, yaitu sebesar Rp 221 triliun, empat kali lipat ketimbang pengeluaran sosial (social expentiture) yang hanya Rp 56 triliun.

Artikel ini ditulis oleh:

Eka