Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Sidang gugatan yang dilayangkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan Nomor Perkara 39/PUU-XV/2017, tersebut dipimpin tiga hakim panel yaitu Ketua MK Arief Hidayat hakim konstitusi Suhartoyo, dan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna.
Saat hakim memberikan kesempatan kepada kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra menjelaskan pokok-pokok permohonan, dirinya langsung membahas mengenai kedudukan hukum atas permohonan yang diajukan.
“Ada sedikit persoalan hukum terkait legal standing permohonan ini, yang kami mohon kiranya panel majelis hakim MK (majelis hukum) memberikan klarifikasi terhadap persoalan ini,” kata Yusril di hadapan hakim, Rabu (26/7).
Berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 mengenai MK disebutkan pihak yang memiliki kedudukan hukum mengajukan gugatan adalah pihak yang menganggap hak atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Yaitu (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; (c) badan hukum publik atau privat; atau (d) lembaga negara.
“Dengan demikian, organisasi yang berhak mengajukan permohonan adalah organisasi yang sah dan akui sebagai badan hukum. Namun, di sisi lain, badan hukum HTI saat ini sudah dicabut oleh pemerintah dengan penerbitan Perppu,” terang Yusril.
Menurut ahli hukum tata negara itu, permohonan ini diajukan ke MK pada 18 Juli 2017. Pada saat itu perkumpulan HTI adalah perkumpulan yang sah, berbadan hukum dan teregistrasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Namun, sehari kemudian, 19 Juli 2017 perkumpulan ini dicabut status badan hukumnya dan dinyatakan bubar.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka