Raja Keraon Yogyakarta, Sri Sultan HB X (kelima kiri) berdialog dengan Mendagri, Cahyo Kumolo (kedua kiri) saat pelepasan jenazah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Sri Paduka Pakualam IX pada prosesi pemakaman di Ndalem Ageng, Komplek Puro Pakualaman, Yogyakarta, Minggu (22/11). Sri Paduka Pakualam IX yang juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta itu meninggal di usia 77 tahun pada hari Sabtu (21/11) karena sakit. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/pd/15.

Yogyakarta, Aktual.com – Polemik dualisme nama Sultan, hingga kini tak kunjung juga selesai, bahkan setelah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta atau DPRD DIY, Rabu (2/8) lalu menggelar Rapat Paripurna penetapan Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY serta Adipati Paku Alam X selaku Wakil Gubernur.

Terkait dualisme nama ini, sebagai bagian dari keputusan Panitia Khusus Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang tertuang dalam Berita Acara Verifikasi Berkas Persyaratan Calon Gubernur DIY bahwa nama yang diajukan sebagai Calon Gubernur DIY adalah nama sebagaimana diatur Pasal 1 angka 4 Undang-undang Keistimewaan atau UUK, yaitu “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Kanjeng Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah” atau Sultan Hamengku Buwono X.

Oleh karena itu, tidak dikenal nama lain selain yang diatur dalam UUK tersebut. Sebagai konsekuensi, Sultan seharusnya tak lagi menggunakan nama lain selain yang digunakannya saat ditetapkan sebagai Gubernur. Bahkan, secara formal semua proses penggantian nama yang pernah dilakukan Sultan seharusnya dianggap tidak pernah terjadi. Perlu diingat baik-baik bahwa melalui Undhang Gumantosing Asma pada 4 Mei 2015 lalu sesungguhnya Sultan bukannya memiliki nama lain, namun telah mengganti namanya menjadi Hamengku Bawono Ka 10.

Penegasan dari Sultan dan Permaisuri GKR Hemas bahwa nama ganda itu sebagai urusan pribadi yang tak ada sangkut pautnya dengan jabatan Gubernur sehingga “secara konstitusional bukan wilayah DPRD”, sementara di saat yang sama Sultan boleh memilih menggunakan nama yang disukai bergantung pada kesempatan dan kepentingannya, sehingga nama lama yang sejatinya sudah ditanggalkan lewat Undhang Gumantosing Asma kembali digunakan, sekedar karena “nanti kalau tidak sesuai bertentangan dengan UUK”, sesungguhnya adalah selain menunjukkan kegagalan dalam memahami perspektif konstitusional yang ingin dibangun melalui Keistimewaan DIY, juga menunjukkan adanya problem mendasar dalam struktur pemerintahan di DIY yang dalam prakteknya berjalan tidak sepatutnya.

Aspek tersebut adalah dalam pola hubungan antara DPRD dengan Gubernur sebagai Kepala Daerah yang terasa jomplang, tidak setara dan seimbang. Jauh sekali dari amanat yang digariskan oleh Pasal 207 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebut bahwa ‘hubungan kerja antara DPRD dan kepala daerah didasarkan atas kemitraan yang sejajar’.

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Wisnu