Jakarta, Aktual.com – Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai intervensi pemerintah dalam menetapkan harga eceran tertinggi (HET) salah satunya pada beras berpotensi maraknya penyelundupan komoditas tersebut yang dilakukan pengusaha.
“Yang bahaya adalah tatkala harga sudah ditetapkan, harga menjadi tidak fleksibel karena penetapan tersebut. Kalau disparitas harga sedemikian tinggi, niscaya penyelundupan akan marak,” kata Faisal Basri di Jakarta, Selasa (8/8).
Ia menjelaskan penetapan harga beras di tingkat konsumen sebesar Rp9.500 dalam Permendag Nomor 27 Tahun 2017, membuat gelisah para petani dan pengusaha beras sehingga menyebabkan produksi padi turun dan pedagang takut karena dianggap bersalah jika menjual beras di atas harga acuan.
Menurut dia, penyelesaian pemerintah terhadap stabilitas pangan hanya berfokus pada sektor hilir, yakni menekan harga yang mengakibatkan turunnya produksi dan lemahnya penjualan. Di sisi lain, biaya produktivitas beras yang membebani petani diakibatkan biaya sewa lahan yang mencapai 42 persen dari total pengeluaran produksi.
Faisal menyebutkan beras merupakan komoditas yang sangat sedikit diperdagangkan di dunia, yakni hanya 3-4 persen yang diekspor dari keseluruhan produksi. Selain itu, tolak ukur kemiskinan ditentukan dari konsumsi beras, yakni sebesar 26,46 persen di desa dan 20,11 persen di kota.
“Cara paling efektif untuk mengentaskan orang miskin adalah instrumen beras. Harga beras naik 2 persen, bisa kacau, kemiskinan langsung naik,” kata dia.
Ia menyarankan pemangku kepentingan perberasan harus duduk bersama untuk mencari solusi agar petani dan konsumen sama-sama diuntungkan sebelum harga terus merangkak naik karena pasokan tersendat akibat pengusaha takut dituduh menimbun dan memanipulasi harga.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Eka