Menteri ESDM Archandra Tahar (kiri) berbincang dengan Dirut PLN Sofyan Basir (kanan) sesaat sebelum memulai Rapat Koordinasi (Rakor) bersama sejumlah pejabat PLN di Kantor PLN Pusat, Jakarta, Sabtu (6/8). Rakor tersebut membahas mengenai perkembangan pembangunan pembangkit dan jaringan transmisi 35.000 MW serta program energi baru terbarukan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Serikat Pekerja PLN meminta direksi dan pemerintah meninjau kembali porsi pembangunan pembangkit 35.000 MW oleh Independent Power Producer (IPP), pasalnya banyak pembangunan yang tidak memperhatikan proporsional daya yang dibutuhkan konsumen.

Menurut keterangan Ketua Umum Serikat Pekerja PLN Jumadis Abda, banyak terdapat pembangkit PLN yang terpaksa dimatikan karena keberadaan pembangkit IPP yang menyebabkan kelebihan cadangan daya.

Hal ini dilakukan karena sistem perjanjian take or pay yang menjadi beban bagi PLN. PLN terpasa mengorbankan pembangkitnya dan mengutamakan pembangkit IPP karena jika daya pembangkit IPP tidak diserap oleh PLN, maka PLN tetap membayar kepada IPP.

“Sistemnya ambil nggak ambil PLN harus tetap bayar, berapapun per kWh nya. Waupun di sistem itu ada pembangkit PLN yang murah. Akhirnya apa yang terjadi, pembangkit swasta diutamakan walau yang lebih mahal, pembangkit PLN yang murah dimatikan. Ini tidak efisien,” katanya di Jakarta, Jumat (18/8).

“Ini banyak kejadian di Sumatera Selatan, PLTU bukit asam kita yang Rp300 per kWh itu dimatikan kemudian yang USD5,8 sen per kWh yang IPP itu yang diambil. Di Sulawesi Selatan kondisinya juga begitu, karena 70 persen sudah dikuasai pembangkit Swasta, kalaupun ada pembangkit PLN yang murah, dikorbankan,” tambahnya.

Selain itu Serikat juga mendorong efisiensi biaya pokok produksi (BPP) agar  dapat memberikan layanan tarif yang murah kepada masyarakat sekaligus menggerak perekonomian nasional yang lebih kompetitif.

Diatara yang bisa dilakukan melalui penghematan dari aspek energi primer. Saat ini pembangkit nasional masih menggunakan sebanyak 8 Persen BBM dari bauran energi primer, padahal BBM lebih mahal ketimbang gas.

“Bauran energi primer ternyata belum efisien karena umumnya kita masih menggunakan BBM dalam listrik. Ada sekitar 8 persen BBM sebagai bahan pembangkit. BBM ini sangat mahal,” katanya ditulis Selasa (8/8).

Namun walaupun gas lebih murah daripada BBM, hal ini tidak sebanding dengan harga gas bahan pembangkit yang digunakan dibeberapa negara kawasan ASEAN.

Karenanya Jumadis Abda meminta semua pihak terkaitu agar berupaya menekan harga gas dalam negeri untuk bahan bakar pembangkit. Jika hal ini dapa diwujudkan, niscaya tarif listrik nasional akan lebih murah dan produksi industri domestik akan mampu menyaingi produk luar.

“Karena itu kita mendorong seperti negara tetangga pada umumnya mereka lebih banyak  menggunakan gas alam didalam pembangkit mereka higga harga mereka lebih murah. Hampir 50 persen di Malaysia menggunakan gas alam untuk pembangkit, sementara Indonesia baru 25 persen,” ujarnya.

“Harga gas di sana juga lebih murah sekitar USD 4,6 per MMBTU, sedangkan di PLN hampir dua kali lipat harganya. Nah, kalau harga gas ini bisa diturunkan skeitar  USD 5 MMBTU untuk PLN, maka PLN bisa menghemat dari BPP mencapai Rp 2 triliun,” pungkasnya.

Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan