Direktur CITATA, Yustinus Prastowo memberikan tanggapan pada acara diskusi di Kantor F-PKB, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (19/4/2016). Diskusi mengurai kontroversi RUU Pengampunan Pajak dengan tema "Tex Amnesty". FOTO: AKTUAL/JUNAIDI MAHBUB

Jakarta, Aktual.com – Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) terlalu ambisius mematok pertumbuhan ekonomi di Rancangan APBN 2018 sebesar 5,4 persen, di tengah kondisi saat ini yang masih sangat berat untuk bisa menopang target perekonomian.

Menurut pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di angka 5,4 persen, maka pemerintah harus bekerja super keras.

“Jika tidak, berat untuk tercapai. Karena dampak pembangunan infrastruktur akan berimbas positif ke perekonomian akan terjadi di 2019, di 2018 belum akan dampaknya, sehingga sulit tercapai,” tandas Prastowo di acara pajak, di Jakarta, Selasa (22/8).

Dia menegaskan, selama ini masalah perekonomian global masih menjadi ancaman, sehingga akan menggerus perekonomian nasional, terutama dari sisi setoran pajaknya.

“Sejak anjloknya harga komoditas di tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami perlambatan hingga pertumbuhannya tak jauh dari kisaran 5%, itu yang harus diingat oleh pemerintah,” kata dia.

Terlebih, dia menambahkan, di tahun ini saja, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di angka 5,2 persen juga masih susah. Makanya dirinya ragu angka tersebut akan tercapai. Apalagi di semester I-2017 hanya bertumbuh 5,01 persen.

“Jadi sulit bagi pemerintah untuk mengejar target pertumbuhan di angka tersebut 5,2 persen di tahun ini dan 5,4 persen di tahun depan,” dia menambahkan.

Maka dari itu, kata dia, dengan mempertimbangkan kinerja ekonomi di tahun ini, pemerintah tentunya harus bekerja lebih keras jika ingin target pertumbuhan ekonomi 2018 sebesar 5,4% tercapai.

“Mau tidak mau pemerintah harus bekerja lebih keras lagi untuk mencapai target pertumbuhan tersebut atau extra ordinary. Jika sama seperti saat ini, maka jangan harap bisa tercapai,” jelasnya.

Dia juga mengingatkan kondisi krisis di AS yang akan berpotensi mengganggu perekonomian dunia dan Indonesia sendiri. Termasuk krisis semenanjung Korean. “Kondisi krisis itu bisa menjadi titik tengah pencarian keseimbangan baru dalam perekonomian global maupun dinamika politik di AS,” kata dia.
 
(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan