Jakarta, Aktual.com – Dalam rancangan perubahan Undang Undang Minyak dan Gas Bumi no 22 tahun 2001 tercantum adanya agregator (badan penyangga) dimana badan ini berbentuk Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN Khusus).
Melihat kenyataan ini, Mantan Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Qoyum Tjandranegara mengkhwatirkan akan rentan terjadi conflict of interest atau konflik kepentingan.
Menurutnya agregator atau badan penyangga seharusnya hanya dalam bentuk sistem pengaturan yang diserahkan ke badan pengatur (regulator).
“Kelemahan konsep ini agregator yang diusulkan terletak pada suatu badan usaha mengatur badan usaha lainnya. Jika agregator diusulkan BUMNK, maka dikuatirkan akan terjadi konflik kepentingan. Karena bagaimanapun juga BUMNK pastu akan mencari keuntungan terlepas besar kecilnya keuntungan yang didapat,” katanya pada acara talkshow Pra Munas ke-10 KAHMI 2017 dengan tema Badan Usaha Khusus Migas dalam Revisi UU Migas untuk Apa?, di Jakarta, Rabu (23/8).
Dengan BUMNK nantinya di melihat terdapat perpanjangan mata rantai yang tidak diperlukan terjadi, pada akhirnya akan berbenturan kepentingan dengan badan usaha lainnya.
Dia menambahkan; dalam pengaturan kegiatan migas mesti dipisahkan fungsi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, badan usaha selaku pelaksana kebijakan dan konsumen sebagai pemakai atau pengguna (UKM) dan pemakai akhir, sedangkan fungsi regulator adalah memangku ketiga pemangku atau kepentingan tersebut.
“Jangan sampai saling tumpang tindih fungsi antara satu dengan yang lainnya yang akan menyebabkan kegiatan usaha migas tidak berkembang. Contoh, UU Pertamina No.8 Tahun 1971 dimana Pertamina bertindak sebagai badan pelaksana kegiatan hulu dan hilir sekaligus badan pengatur hulu dan hilir sehingga dimungkinkan terjadi konflik kepentingan dan pemusatan wewenang serta persaingan usaha yang tidak sehat atau monopoli,” pungkasnya.
(Reporter: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka