Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi VII DPR Rofi Munawar merasa aneh dengan rencana pemerintah yang hendak mengimpor Liquied Natural Gas (LNG) dari Singapura.
Menurut dia, jika kebijakan impor ini tetap dilaksanakan, artinya road map pengembangan gas nasional semakin tidak jelas. Karenanya tegas Rofi’ perlu dilakukan audit neraca gas nasional yang komprehensif agar angka proyeksi kebutuhan sesuai dengan kemampuan produksi gas domestik.
“Rasanya aneh kita harus mengimpor LNG dari Singapura, karena secara faktual mereka tidak punya ladang gas. Impor ini dipastikan bukan transaksi yang langsung dari produsen utama tapi melalui perantara atau trader,” sesal Rofi di Jakarta, kamis (24/8).
Rofi mencermati trend kenaikan lifting gas harusnya bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk mengatur tata kelola dan tata niaga gas yang lebih efisien, bukan kemudian secara terburu-buru mengambil langkah impor.
Sebagaimana diketahui, angka lifting gas untuk nasional pemerintah telah menetapkan angka 1.150 ribu barel per hari (bph) pada Anggaran Penerimaan Belanja Negara Perubahan (APBN P) 2017 dan telah menetapkan target mencapai 1.200 ribu bph untuk RAPBN tahun 2018.
“Kita menyadari gas adalah energi tak terbarukan yang suatu saat bisa habis tak tersisa.Tapi dari apa yang ada saat ini saja belum bisa termanfaatkan dengan optimal. Pemerintah perlu melakukan langkah segera terhadap proyek-proyek pengembangan lapangan gas (project supply dan potential supply) yang ada saat ini maupun dimasa yang akan datang,” tegasnya.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan akan melakukan impor gas LNG dari Singapura untuk kebutuhan beberapa pembangkit listrik di Indonesia.
Menurutnya kebijakan ini diambil atas pertimbangan harga gas impor yang didapat melalui perusahaan Keppel Offshore & Marine relatif lebih murah sekita USD 3,8 per MMBTU.
“Kita impor boleh saja kalau murah untuk industri kita. Nah mereka menawarkan harganya lebih murah,” kata Luhut di Jakarta, Senin (21/8).
Namun berdasarkan informasi yang diterima Aktual.com, ternyata harga USD 3,8 per MMBTU yang disampaikan oleh Luhut, baru hanya harga trasportasi dan regastifikasi. Artinya dengan ditambah harga wellhead di singapura, total harga LNG bisa lebih mahal dari harga domestik.
“Harga USD 3,8 baru transport sama regasnya. Coba landed ICP berapa? Kalau USD 11,5 persen dari 50 udah berapa? Ditambah USD 3,8 jadi berapa? Nah jawab sendiri deh,” kata sumber Aktual.com, Rabu (23/8).
Selain itu, sebagai catatan bahwa pada acara Gas Indonesia Summit 2017 di Jakarta Convention Centre bulan lalu, Pemerintah memperkirakan tidak perlu melakukan impor gas hingga pada tahun 2019 karena adanya tambahan produksi dari Lapangan Jangkrik yang dikelola oleh ENI. Produksi gas juga akan meningkat apabila Lapangan Tangguh Train 3 dan Blok Masela juga berproduksi sesuai rencana.
Berdasarkan data Neraca Gas Bumi Indonesia, memang sebelumnya diperkirakan Indonesia perlu melakukan impor gas pada tahun 2019. Namun setelah dilakukan update, ternyata terjadi penurunan kebutuhan karena program kelistrikan 35.000 MW yang belum rampung serta adanya peningkatan produksi dari Lapangan Jangkrik yang dikelola ENI yang semula 450 MMSCFD, dapat ditingkatkan menjadi 600 MMSCFD.
“Lapangan Jangkrik ini maju kan (produksinya), ternyata bagus (hasilnya). Yang tadinya didesain 400 sampai 450 MMSCFD, pas dites bisa sampai 600 MMSCFD. Jadi kemungkinan besar 2019 tidak perlu impor,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi IGN Wiratmaja Puja pada waktu itu.
“Tambahan produksi gas lainnya, berasal dari Tangguh Train 3 tahun 2020 yang membuat pasokan gas Indonesia tetap aman. “2020, begitu Tangguh Train 3, masuk nggak perlu impor lagi,” ujarnya.
Produksi kembali bertambah apabila Blok Masela berproduksi tahun 2025-2027
Pewarta : Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs

















