Berdasarkan data yang diterbitkan BI pagi ini, kurs rupiah berada di angka Rp13.329 per dolar AS, terdepresiasi tipis 0,2% atau 3 poin dari posisi 13.326 kemarin. Pada saat yang sama, nilai tukar rupiah terpantau menguat 0,03% atau 4 poin ke Rp13.327 per dolar AS di pasar spot, setelah dibuka dengan penguatan hanya 0,01% atau 1 poin di Rp13.330.‎ AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Jumat (8/9) sore, bergerak menguat sebesar 128 poin menjadi Rp13.182 dibandingkan sebelumnya pada posisi Rp13.310 per dolar Amerika Serikat (AS).

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang terjadi tak sesuai harapan ternyata membuat pelaku pasar tak percaya dengan dollar AS (USD).

Imbasnya, USD anjlok dan mata uang negara emerging market juga mengalami peningkatan. Termasuk rupiah juga menguat drastis.

Menurut Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara, ekspektasi pasar terhadap dolar AS yang mulai berbalik arah membuat USD tidak berdaya terhadap rupiah dan mata uang emerging market lainnya.

Pada awal tahun suku bunga acuan AS ini trennya akan naik lebih cepat karena pertumbuhan ekonomi AS bakal melaju kencang diluar perkiraan, sehingga dolar AS menarik minat pelaku pasar.

“Tapi faktanya, ternyata ekonomi AS tumbuh bagus tapi tidak secepat perkiraan, agak melandai. Inflasi juga di AS melandai di bawah 2 persen. Ini yang membuat beberapa hari ini USD melemah,” jelas Mirza di Jakarta, Jumat (8/9).

Ditambah lagi, kata dia, perkiraan kenaikan suku bunga The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) itu semula diperkirakan akan naik 4 kali bahkan 5 kali, tapi kemungkinan tak akan terjadi di tahun ini.

“Di tahun ini kan sudah naik 2 kali tahun ini, tapi mau naik sekali lagi belum tentu. September ini rasanya nggak (naik). Desember nanti change untuk naik sudah di bawah 35%,” dia menegaskan.

Dia menegaskan, dengan kondisi ini membuat tren pembalikan dimana ekspektasi orang/pasar terhadap dolar AS itu melemah. Sehingga USD itu terhadap mata uang global juga menurun.

“Termasuk juga surat utang berdenominasi dolar AS yang awal tahun bisa mencapai 2,5 persen untuk tenor 10 tahun sekarang trennya turun terus. Kemarin terakhir sudah 2,0 sekian persen” katanya.

Kondisi itu, kata dia, telah membuat dollar AS terus tertekan. “Ini yang membuat Dolar AS melemah, dan akibatnya mata uang Indonesia dan emerging market menguat,” terang Mirza.

Meski begitu, BI tetap mengkhawatirkan tren penguatan rupiah yang terlalu tinggi itu. Karena jika terlalu tinggi akan membahayakan perekonomian nasional.

“Karena pada akhirnya akan membuat banyak barang impor jika rupiah terlalu kuat. BI hanya harap rupiah tetap stabil,” tegasnya.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan