Arcandra Tahar

Jakarta, Aktual.com – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar, menjelaskan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 52 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Permen ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Permen ini direvisi setelah terdapat banyak keluhan dari para pelaku hulu migas yang merasa belum mendapat tingkat keekonomian.

“Kita sudah mendengar banyak masukan. Tim kita bentuk ulang. Masukan mana yang reasonable untuk ditindaklanjuti, muncullah beberapa model. Model tersebut banyak masukan baik dari IPA, termasuk world bank, juga dari beberapa konsultan lainnya,” ungkap Wamen Arcandra di Jakarta, ditulis Minggu (10/9).

Pada kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi dengan skema Gross Split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi hasil skema cost recovery, dimana biaya operasi (cost) pada akhirnya menjadi tanggungan pemerintah.

Maka dengan Gross Split ini pemerintah ingin kontraktor melakukan efisien, karena biaya operasi merupakan tanggung jawab kontraktor.

Setidaknya ada delapan poin penting yang diubah pada Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tersebut, diantaranya komponen progresif kumulatif produksi migas, komponen progresif harga minyak, komponen progresif harga gas bumi, komponen variabel status lapangan, komponen variabel tahapan produksi, komponen variabel kandungan hidrogen-sufrida (H2S), komponen variabel ketersediaan infrastruktur dan diskresi pemerintah.

Poin perubahan pertama, tertuang pada pasal 6 (ayat 4 dan 4a) bahwa bagi hasil komponen progresif yaitu dari produksi migas. Jika produksi migas secara kumulatif di bawah 30 Million Barrels of Oil Equivalent (MMBOE), kontraktor akan mendapat bagi hasil (split) 10 persen. Pada Permen sebelumnya, apabila produksi migas kurang dari 1 MMBOE, kontraktor mendapat tambahan split 5 persen.

Poin perubahan kedua, yaitu pemberian insentif untuk pengembangan lapangan kedua dan pemberian insentif lebih tinggi apabila lapangan tidak mencapai keekonomian tertentu. Wamen Arcandra menjelaskan latar belakang munculnya poin ini. “Ada masukan dari beberapa pihak, Pemerintah tidak memberikan insentif eksplorasi lebih satu blok. Untuk revisi yang baru kami beri 3 persen,” jelas Wamen.

Melalui Permen baru ini Pemerintah menstimulus para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas melalui pemberian insentif tambahan split sebesar 3 persen jika KKKS melakukan pengembangan lapangan migas yang kedua dalam blok migas yang sama (Plan of Development/POD II).

Pada Permen sebelumnya, tambahan split sebesar 5 persen hanya untuk pengembangan lapangan pertama (POD I), sedangkan POD II tidak diberikan. Dengan demikian, KKKS akan termotivasi untuk melakukan pencarian cadangan migas tambahan dalam blok migas yang telah berproduksi dari lapangan migas pertama.

Perubahan poin ketiga adalah penyesuaian split yang diakibatkan komponen progresif harga minyak dan gas bumi yang tercantum pada pasal 9. Pada harga minyak, penyesuaian split kontraktor didasarkan pada formula (85-ICP) x 0,25 persen, dengan contoh perhitungan apabila harga minyak dibawah US$40 penyesuaian split kontraktor menjadi 11,25 persen, di Permen sebelumnya hanya 7,5 persen. “Jika kita lihat model (Permen Nomor 8/2017), ada intermiten antara split dengan harga minyak”, jelas Wamen.

Selanjutnya poin keempat adanya tambahan komponen progresif harga gas yang belum diatur pada permen sebelumnya. Formula yang ditetapkan untuk harga gas dibawah US$7/mmbtu (million british thermal unit), maka penyesuaian split ke kontraktor adalah (7-harga gas)x2,5 persen, sedangkan untuk harga gas diatas 10 US$/mmbtu maka penyesuaian split ke kontraktor adalah (10-harga gas)x2,5 persen.

Wamen Arcandra lebih lanjut memberi contoh untuk harga gas US$5/mmbtu, maka kontraktor akan mendapatkan split 5 persen, sedangkan apabila US$6/mmbtu maka split ke kontraktor hanya sebesar 2,5 persen. Penyesuaian split tersebut dilaksanakan setiap bulan berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh SKK Migas.

Selanjutnya, poin perubahan kelima adalah komponen variabel fase produksi. Pada Permen ini, besaran split pada tahapan produksi sekunder sebesar 6 persen, sebelumnya hanya 3 persen. “Ada beberapa masukan bahwa tambahan split untuk fase secondary recovery itu tidak cukup, untuk mengakomodir itu kita tingkatkan menjadi 6 persen,” lanjut Wamen.

Kemudian, pada tahap tersier, besaran split mencapai 10 persen dari sebelumnya hanya 5 persen. Pada tahap ini produksi minyak menggunakan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR).

Pada poin keenam, perubahan terletak pada komponen variabel kandungan hidrogen-sufrida (H2S). Apabila suatu lapangan migas terdapat kandungan H2s yang tinggi, maka akan diberikan tambahan split. Misal, untuk lapangan migas yang memiliki kandungan H2S dibawah 100 part per million (ppm), maka kontraktor tidak mendapatkan split, sedangkan apabila kandungan H2Snya melebihi 4000 ppm kontraktor mendapatkan split sebesar 5 persen.

“Dulu ppm lebih dari 500 hanya 1 persen, tapi setelah melihat rata-rata H2H di Indonesia sekitar 3000 dan 4000, sekarang kita memberi split antara 0 persen hingga 5 persen jikaH2S di atas 4000. Kita percaya itu cukup mengcover biaya karena H2S,” tambah Wamen Arcandra.

Poin ketujuh, perubahan tambahan split untuk wilayah kerja yang sama sekali belum tersedia infrastruktur penunjang Minyak dan Gas Bumi (new frontier), dibagi menjadi lokasi new frontier offshore mendapatkan split 2 persen sedangkan untuk new frontier offshore sebesar 4 persen. Sebelumnya tidak ada pembedaan onshore dan offshore.

“Di Amerika, New Frontier Off Shore lebih mahal daripada New frontier Onshore. Tapi ini tidak terjadi di Indonesia. New Frontier On Shore lebih mahal daripada New frontier Offshore”, lanjut Wamen Arcandra.

Dan poin perubahan terakhir atau yang kedelapan dari revisi Permen Nomor 52 Tahun 2017 adalah mengenai diskresi Menteri ESDM yang dapat memberikan tambahan atau pengurangan split yang didasarkan pada aspek komersialitas lapangan. Pada aturan sebelumnya, Menteri ESDM hanya dapat memberikan tambahan split maksimal 5 persen.

“Ada beberapa masukan. Setelah apa saja yang telah kami beri, termasuk insentif. Apa yang kita lakukan adalah tidak membatasi diskresi supaya lapangan dikembangkan lebih ekonomis,” pungkas Wamen.

Untuk diketahui, Permen ESDM Nomor 52 Tahun 2017 tidak mengubah komponen dasar bagi hasil (base split). Besaran bagi hasil awal untuk minyak bumi yang menjadi bagian negara sebesar 57 persen, sisanya 43 persen untuk kontraktor. Sedangkan bagian negara dari gas bumi sebesar 52 persen dan sisanya sebesar 48 persen menjadi hak kontraktor.

 

Laporan Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh: