Jakarta, Aktual.com – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan bahwa pengenaan “top up” itu lebih menguntungkan perbankan ketimbang masyarakat. Pasalnya, bank sudah menerima uang sebelum transaksi terjadi.

Hitunglah tiap kartu baru e-money itu dibeli dengan harga Rp25.000. Lalu, biaya top up e-money yang dibebankan ke masyarakat sebesar Rp1.500.

Untuk diketahui, misalnya, dari empat Bank saja tercatat pengguna kartu e-money sebesar 27,6 juta (Bank Mandiri 9,61 juta + BNI 1,5 juta kartu + BRI 6,6 juta + BCA 10). Jika rata-rata transaksi per bulan sebanyak 1 kali transaksi, maka uang _top up_ yang diraup bank sebesar 27,6 juta x Rp1.500 = Rp41,4 miliar per bulan. Sehingga, dalam waktu setahun = Rp41,4 x 12 bulan = Rp496,8 miliar.

“Kalau kita tambah dengan harga beli kartu Rp25.000, maka total dana masyarakat yang disimpan di bank = Rp496,8 + (Rp25.000 x 27,6 juta) = Rp1,2 triliun per tahun. Itu bukan uang yang sedikit. Nah, uang itu dibikin apa? Bagaimana pertanggungjawabannya di bank-bank, terutama BUMN? Kan, tidak jelas. Padahal semangat e-money itu adalah transparansi sistem pembayaran,” jelas Heri, di Jakarta, Senin (18/9).

Lain lagi dengan e-money, sambungnya, untuk kartu tol harga belinya Rp50.000 tapi hanya berisi Rp30.000. Sisa yang Rp15.000 setelah dipotong biaya administrasi, dengan asumsi sebesar, misalnya, Rp5.000. ” ini kemana? Kan, sangat merugikan dan memberatkan masyarakat”.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid