Jakarta, Aktual.com – Pengamat Ekonomi Energi dari UGM, Fahny Radhi menilai surat tanggapan Freeport, yang ditandatangani Chief Executive Officer Freeport-McMoRan Richard C Adkerson kepada pemerintah, mengindikasikan bahwa persetujuan terhadap perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sekedar akal-akalan Freeport saja. Lima poin yang dikemukakan dalam tanggapan surat tersebut menolak semua usulan pemerintah dalam divestasi 51 persen saham.
Salah satu poin menolak dengan keras usulan pemerintah berkaitan dengan penetapan harga saham divestasi. Freeport menolak penetapan harga divestasi 51 persen saham dihitung berdasarkan nilai asset dan cadangan pertambangan hingga 2021. Freeport tetap bertahan bahwa penetapan harga divestasi saham yang mencerminkan nilai pasar wajar adalah dengan memasukan nilai asset dan cadangan hingga 2041.
“Penetapan harga saham dengan memasukan asset dan cadangan hingga 2041 akan menyebabkan harga saham menjadi sangat tinggi, yang cenderung over value alias kemahalan Mustahil bagi pemerintah untuk membeli harga saham Freeport yang kemahalan, sehingga akhirnya divestasi 51% saham tidak pernah terjadi. Freeport tetap saja menggenggam saham mayoritas, yang memegang kendali pengelolaan tambang,” kata dia secara tertulis, Minggu (1/10)
Modus akal-akalan dalam divestasi saham itu kata Fanhmy, juga pernah diterapkan oleh Freeport pada saat menjalankan kewajiban divestasi 10 persen seperti yang diatur dalam KK. Dalam penetapan harga saham yang ditawarkan kepada pemerintah, Freeport juga memasukan variabel nilai cadangan hingga 2041, sehingga harga jual saham Freeport kala itu sangat tinggi, bahkan dinilai over value. Pada saat itu, Freeport menawarkan 10,64 persen sahamnya senilai 1,7 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp22,1 triliun (USD 1 setara Rp13.000). Asumsi yang digunakan oleh Freeport adalah kontrak akan diperpanjang selama 20 tahun, sehingga cadangan yang diperhitungkan dalam penetapan harga saham itu hingga 2041.
Sedangkan berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM, dengan metode replacement cost, harga 10,64 persen saham Freeport dinilai sebesar 630 juta dollar AS atau sekitar Rp8,19 triliun. Perhitungan pemerintah tanpa memasukan variabel cadangan dalam penetapan harga saham. Adanya perbedaan perhitungan nilai saham tersebut menyebabkan Pemerintah tidak bersedia membeli 10,64 saham Freeport. Akibatnya, Freeport tetap saja menggegam mayoritas saham sebesar 90,64 persen, sedangkan Indonesia hanya 9,36 persen selama 50 tahun terakhir.
Namun tegas Fahmy, Penetapan harga divestasi saham sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM 27/2013. Sesuai aturan itu, penetapan divestasi saham dengan metode repklacement cost atau biaya penggantian investasi kumulatif, yang dikeluarkan tahap eksplorasi sampai dengan waktu divestasi.
“Selama usulan pemerintah terkait divestasi saham berdasarkan peraturan berlaku, pemerintah harus tetap mempertahankannya tanpa kompromi. Pemerintah jangan sampai dikelabui Freeport dengan akal-akalan dalam penetapan harga saham divestasi 51 persen. Kalau Freeport tetap saja ngotot menolak usulan pemerintah, tidak berlebihan kalau pemerintah mengatakan kepada Freeport “Take it or Leave it” pungkas dia.
Laporan Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh: