Hakim Tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang Praperadilan Ketua DPR RI Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera, Jakarta Selatan, Selasa (12/9). Sidang Praperdilan ini digelar karena Setnov tidak terima ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-el) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sidang ditunda karena pihak KPK belum siap dengan administrasi sidang, yang akan berlangsung pada Rabu (20/9). AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Pengamat hukum Universitas Bung Karno Azmi Syahputra menyatakan Komisi Yudisial harus memeriksa bukan hanya hakim Cepi Iskandar yang menangani praperadilan Setya Novanto, namun juga ketua pengadilan.

“Itu sebagai pintu gerbang distribusi penunjukan hakim pemeriksa perkara praperadilan Setya Novanto,” kata Azmi Syahputra kepada Antara di Jakarta, Senin.

Ia menduga hakim Cepi Iskandar memang membangun argumen pertimbangan hukum yang mendalilkan untuk dan akan mengabulkan permohonan praperadilan atau hakim tersebut bekerja karena ada permintaan khusus atau “titipan” perkara dari ketua pengadilan.

Karena, kata dia, dalam praktiknya kebanyakan hakim akan sulit menolak jika ada permintaan dari ketua pengadilan dan bisa jadi hakim Cecep merupakan tipe hakim yang tidak bisa menolak permohonan pimpinan.

Modus kelicikan pengkondisian hakim yang diciptakan atau “disetting” ini juga harus diungkap sebagai wujud reformasi peradilan.

“Dalam praktiknya jika hakim sudah dikondisikan sejak awal personelnya melalui ketua pengadilan maka yang terjadi ada tawaran dalam bentuk penerimaan uang atau janji menerima atau ada kepentingan sesuatu yang akan diperoleh,” katanya.

Azmi menambahkan jika hal itu dapat dibuktikan oleh KY atau pengawal internal MA, maka sejak awal sudah ada tindakan yang disengaja dengan maksud oleh ketua pengadilan untuk mengkondisikan kasus praperadilan itu.

“Karena itu, hal ini harus diusut dengan teliti dan tuntas,” tandasnya.

Dalam putusannya, Hakim Tunggal Cepi Iskandar menyatakan bahwa penetapan Setnov sebagai tersangka tidak sesuai prosedur.

“Hakim berkesimpulan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh termohon untuk menetapkan pemohon sebagai tersangka tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara Perundang-Undangan Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KUHAP, dan ‘SOP’ KPK,” kata Cepi saat membacakan putusan praperadilan Setya Novanto.

Hakim Cepi juga memerintahkan KPK untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No.Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017.

“Menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara mengadili permohonan praperadilan pemohon untuk sebagian. Menyatakan penetapan tersangka terhadap Setya Novanto berdasarkan Surat Perintah Penyidikan No.Sprin.Dik-56/01/07/2017 tanggal 17 Juli 2017 dinyatakan tidak sah. Memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto. Menghukum termohon untuk membayar biaya perkara praperadilan sebesar nihil,” kata Hakim Cepi.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby