Jakarta, Aktual.com- Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai perubahan status kontrak PT Freeport Indonesia (PTFI) dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bukanlah suatu hal yang menguntungkan Indonesia.
Sebaliknya perubahan status menjadi IUPK itu justru menjadi ‘angin segar’ bagi Freeport dan merugikan bagi Indonesia, hal ini karena dengan beralihnya kontrak menjadi IUPK, Freeport terbebas dari kewajibannya melakukan divestasi dan pembangunan smelter yang telah diikat oleh KK.
Dengan kesempatan negoisasi dan beralih kontrak, setidaknya Freeport berada diposisi tawar menawar yang tentu terbebas dari belenggu keterikatan perinta KK.
“Sebenarnya dengan perubahan KK menjadi IUPK berarti Freeport lepas dari semua kewajiban yang ada dalam KK. Mesti diketahui bahwa ada banyak kewajiban dalam KK yang tidak dipenuhi oleh Freport selama ini; seperti kewajiban melakukan pengolahan di dalam negeri, kewajiban melakukan divestasi 51 % yang sebetulnya sudah diatur dalam KK dan batas waktu pemenuhan kewajiban tersebut gagal dipenuhi Freeport,” kata Daeng secara Tertulis, Rabu (4/10).
“Perubahan KK menjadi IUPK adalah insentif yang besar bagi Freeport. Mengapa? Karena seharusnya kontrak karya Freeport berakhir tahun 2021, maka dengan berubah menjadi IUPK pemerintah memperpanjang hingga tahun 2041,” ujar dia.
Namun anehnya, sudah memberikan insentif pada Freeport dalam bentuk peralihan kontrak, ternyata pemerintah juga akan memberikan keringanan pajak kepada Perusahaan asal Amerika Serikat itu.
“Kalau faktanya ternyata pajak pun berkurang dan pemerintah menyetujuimya maka berarti ada udang di balik batu, ada skandal besar yang dirancang pemerintah dari awal yang terindikasi untuk meloloskan kepentingan pribadi penguasa. Saya rasa ini mengkonfirmasi pepatah tidak ada makan siang gratis,” pungkasnya.
Laporan: Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby