Pengamat Ekonomi Politik Faisal Basri.

Jakarta, Aktual.com – Polemik ihwal pembentukkan induk usaha (holding) di sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali memanas. Sejumlah pihak menilai penerapan holding BUMN yang tengah digodok dalam beberapa waktu terakhir bakal menjadi sentimen negatif jika pemerintah tidak berhati-hati dalam mengimplementasikan konsep tersebut.

“Harus dipahami bahwa tidak ada formula tunggal dalam pembentukkan holding, karena setiap BUMN punya karaktetistik masalah dan sejarah sendiri. Jadi, upaya peningkatan efisiensi yang ditujukan dalam konsep holding pun harus berbeda-beda,” ujar Ekonom Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri di Jakarta, Jumat (20/10).

Faisal menyontohkan, tujuan menciptakan ‘value creation’ dalam pembentukkan holding BUMN Pertambangan tak akan berarti jika PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Timah Tbk digabungkan dalam 1 induk usaha. Selain memiliki komoditas tambang yang berbeda-beda, katanya, kegiatan pertambangan di setiap komoditas juga memiliki tingkat kesulitan dan nilai investasi yang berbeda-beda besaran.

Tak ayal, dengan fakta tersebut amat mustahil mencipatkan value creation di sektor pertambangan. Begitu pun dengan konsep holdingisasi di sektor migas yang ditargetkan pemerintah bisa rampung akhir tahun ini.

“Kalau lihat sejarahnya, Pertamina memang diberikan tugas untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus menjalankan fungsi PSO. Sangat berbeda dengan tugas yang diemban PGN yang kini sudah menjadi perusahaan terbuka,” imbuhnya.

Sementara itu, Kusdhianto Setiawan, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, holdingisasi BUMN di sektor migas tidak akan mencapai tujuan efisiensi dalam hal penggunaan dana investasi. Pasalnya, beberapa bidang usaha seperti yang digeluti Pertamina dan PGN memang membutuhkan investasi yang besar jika mau berkembang.

“Sekarang PGN dan Pertagas punya aset sendiri, lalu dengan digabungkan harapannya bisa efisiensi dan membuat struktur modal yang lebih baik. Tetapi efisiensi dalam operasi bisnisnya belum tentu. PGN sudah punya jalur distribusi sendiri, Pertagas juga. Kalau disatukan, asetnya tetap sulit digabungkan,” tuturnya.

Berangkat dari hal ini, Kusdianto pun meminta pemerintah berpikir seksama perihal penggabungan dua BUMN tadi. Ini mengingat sejak wacana penggabungan PGN ke tubuh Pertamina digulirkan harga saham PGAS terus merosot dari level 6.050 pada awal 2016 ke level 1.460 dalam beberapa hari terakhir.

Tak pelak, katanya, pemerintah sendiri yang nantinya mengalami kerugian atas penurunan aset dari jatuhnya harga saham PGAS.

“Saat sering diberitakan, muncul ketidakpastian bagi investor. Risiko pasarnya naik. Sehingga di November harganya turun jadi Rp 2.300 per saham. Ini akibat melempar wacana soal holdingisasi dan merger yang belum matang tetapi sudah dilempar ke publik,” tutupnya.
Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan