Jakarta, Aktual.com – Alkisah di sebuah hutan rimba, hidup 4 ekor sapi. Dari semua sapi-sapi yang ada itu, mereka memiliki masalah antara satu dengan yang lain. Saling dengki, saling benci, dan saling intrik. Tapi walaupun begitu, mereka tetap hidup berdampingan. Bersama-sama menikmati lezatnya rumput dan dedaunan yang ada di dalam hutan.
Sampai pada suatu ketika, dari balik semak-semak, ada seekor singa yang mengintai dan siap menerkam sapi-sapi itu. Terus mengintai dan mengendap-ngendap, terus bergerak maju hingga posisi semakin dekat, para sapi tetap tidak sadar dengan keberadaan singa. Sampai akhirnya, singa itu berhasil menerkam salah satu dari 4 ekor sapi itu dan menyantapnya.
Saat melihat ada seekor sapi diterkam oleh singa, sapi-sapi yang lain tidak menyelamatkan. Mereka hanya melihat dari kejauhan dan membiarkan semua rangkaian pembantaian itu. Dalam benak masing-masing sapi yang tersisa, bahwa itu bukan urusannya. Karena yang penting dirinya selamat, masa bodo dengan sapi yang tengah diterkam singa. Toh sapi yang diterkam itu juga tidak begitu disukai olehnya. Begitulah yang muncul dalam benak sapi-sapi tersebut.
Lalu beberapa hari kemudian, saat 3 ekor sapi yang tersisa ini tengah asyik pula memakan rumput. Datang lagi sang singa, dan langsung menerkam salah satu dari mereka, kemudian menyantapnya. Saat melihat kejadian ini, 2 sapi yang tersisa masih melalukan hal yang sama. Hanya melihat, tidak melakukan upaya penyelamatan apapun. Karena menurut mereka, itu bukan urusannya. Karena yang penting dirinya selamat.
Kejadian seperti itu terus berulang, saat 2 ekor sapi sedang asyik makan rumput. Diterkam pula salah satunya oleh singa. Dan sapi yang selamat, masih tetap melakukan hal yang sama. Yang penting dirinya selamat. Tak ada urusan dengan sapi yang diterkam singa, toh sapi yang diterkam itu juga tidak disukainya.
Sampai akhirnya, 1 ekor sapi yang tersisa itu ternyata diterkam pula oleh singa. Meraung-Raung sapi tersebut minta tolong, menangis, sangat ketakutan, dan meronta-ronta tak karuan. Persis seperti yang pernah dilakukan oleh sapi-sapi sebelumnya. Namun tidak ada satu pun yang menolong. Karena saat itu sudah tidak ada sapi yang lain.
Maka maut pun mendekatinya, karena taring singa sudah merobek lehernya, darahnya mengucur deras, dan tidak bisa berbuat apa-apa saat singa merobek-robek dagingnya dan melahapnya. Barulah kemudian, sapi itu sadar, jika dahulu dia tidak membiarkan singa menerkam sapi yang lain, pasti hari ini dia tidak akan diterkam oleh singa.
Tapi apalah daya, semua sudah berlalu. Individualisme, egoisme, saling dengki, dan ketidakpeduliannya antar sapi dimasa lalu, telah menyebabkan mereka lemah. Sehingga yang seharusnya mereka bisa menghalau singa dengan kekuatan bersama, tapi kini telah menjadi santapan singa akibat perpecahan.
#Jangan menjadi seperti sapi
Kisah diatas, jika kita korelasikan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini. Seyogyanya mampu kita jadikan sebagai bahan refleksi. Mengingat beberapa waktu belakangan ini, konflik antar sesama warga bangsa, semakin jelas terasa. Terlebih lagi saat Proses transisi kepemimpinan DKI, konflik itu semakin keruh saja rasanya. Menjauhkan kita dari identitas bangsa, yakni bangsa yang satu, berdaulat, berkeadilan, tenggang rasa, dan saling gotong royong.
Semakin kesini, persatuan kita terasa hanya muncul secara seremonial belaka. Kita bisa bersatu saat upacara kemerdekaan dan bersatu dalam aktivitas di rumah-rumah ibadah, tapi keluar dari itu, kita saling bertikai, saling berkhianat, dan saling hancur menghancurkan.
Kondisi demikian jika tidak segera diakhiri, tentu tidak baik untuk masa depan demokrasi, ekonomi, politik dan kedaulatan bangsa kita. Mengingat semakin hari, perubahan zaman semakin cepat. Teknologi terus berkembang pesat, dan kompetisi antar bangsa semakin mengemuka. Jika kita tidak segera insyaf dan segera mengkonsolidasi diri, tentu kita akan menjadi bagian dari orang-orang yang kelak akan dipersalahkan zaman.
Oleh: Setiyono (Aktivis Pergerakan)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan