Jakarta, Aktual.com – Dalam satu kesempatan, Jokowi pernah membuat pernyataan menarik, sebuah pernyataan yang saya katakan sebagai model kedewasaan berdemokrasi. Yakni beliau menyatakan kangen di demo oleh rakyatnya. Beberapa kalangan menilai, pasca pernyataan itu muncul, maka harapan akan tumbuhnya demokrasi di Indonesia akan semakin baik. Mengingat begitu terbukanya Jokowi terhadap bentuk penyampaian aspirasi semua warga bangsa.
Namun dalam perjalanannya, ternyata pernyataan itu hanya pemanis dibibir saja. Sebagai pelengkap atas kemunafikan Jokowi yang kian nyata. Berbagai peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, sama sekali tidak mencerminkan tentang masa depan demokrasi yang baik. Pemerintah yang dapat berkuasa atas propaganda keterbukaan, penjaja kedewasaan berdemokrasi, tapi saat kekuasaan itu diraih mereka berubah menjadi totaliter. Tertutup dan represif terhadap rakyat yang melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Beberapa kali rakyat melakukan demontrasi, tapi tidak pernah ditemui oleh Jokowi. Justru tindakan represif yang diberikan kepada para demonstran itu. Pada aksi 411 tempo hari, kita masih ingat bagaimana para ulama, mahasiswa, dan rakyat lainnya yang ikut serta melakukan aksi di depan istana, diperlakukan sangat represif. Ditembaki pakai gas air mata, hingga beberapa orang terluka dan pingsan, bahkan kabarnya ada yang meninggal, padahal mereka sama sekali tidak melakukan tindakan anarkis. Mereka datang untuk bertemu dengan Jokowi dan mendesak pemerintahan Jokowi menegakkan keadilan hukum.
Lalu aksi teman-teman mahasiswa pada 20 oktober kemarin, juga mendapat tindakan represif dari pemerintah. Padahal mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang paling netral dalam struktur bernegara, bukan melakukan instropeksi, tapi pemerintah malah mereponnya dengan pentungan. Ini jelas bukti ketidakdewasaan pemerintah dalam berdemokrasi. Suatu kemunduran demokrasi yang sangat mengancam masa depan politik, pembangunan dan kesejahteraan bangsa kita. Belum lagi maraknya penangkapan demi penangkapan. Aktivis kritis di sosial media, ditangkap. Demonstran kritis, ditangkap. Ulama kritis, ditangkap. Rusak demokrasi jika cara-cara represif itu terus dilakukan oleh pemerintah.
Pemerintahan Jokowi ini tak ubahnya seperti pemerintahan Fir’aun. Gila dengan simbol-simbol pembangunan fisik, tapi kurang peduli terhadap pembangunan sumber daya manusia. Insfrastruktur dibangun begitu gencar, sampai dana kurang-kurang, rasio hutang meningkat, pajak rakyat dinaikkan, subsidi dicabut, dan hal-hal yang berkaitan dengan stabilitas demokrasi, kesejahteraan rakyat, dan kemajuan berpikir masyarakat, cenderung mereka abaikan. Setiap kelompok oposisi dianggap sebagai ancaman pembangunan, sehingga tindakan represif pun dilakukan.
Seharusnya, akan lebih arif jika pemerintah melakukan langkah-langkah persuasif dalam menghadapi para demonstran. Kesadaran akan pentingnya demonstrasi sebagai proses tumbuhnya demokrasi, seharusnya disadari oleh pemerintah. Sehingga tindakan represif itu tidak perlu dilakukan. Karena jika pemerintah terus melakukan tindak kekerasan dan penuh kecurigaan terhadap orang-orang yang melakukan protes, maka bisa dipastikan masa depan demokrasi dan masa depan politik kita akan semakin buram.
Kemudian pertumbuhan ekonomi nasional pun pasti akan goyang, rakyat menjadi semakin susah, kriminalitas meningkat, dan kerusuhan akan muncul dimana-mana. Ini yang seharusnya diinsyafi oleh pemerintah, jika masih peduli terhadap masa depan negara. Berhentilah membohongi rakyat, berhentilah melakukan tindakan-tindakan represif kepada rakyat. Sebelum gejolak sosial itu semakin besar dan meluluhlantakkan kita.
HATI-HATI DENGAN UNDANG-UNDANG YANG TIDAK BERJIWA DEMOKRASI
Dalam satu kesempatan, Winston Churchil pernah mengatakan, dari semua sistem-sistem yang jelek, demokrasi adalah sistem yang paling baik. Dengan situasi dunia yang semakin modern ini, dengan berbagai macam ideology yang berkembang, serta berbagai model masyarakat dunia dengan agama, adat istiadat, dan level pendidikan yang berbeda-beda, maka saya sepakat dengan pernyataan Churchil tersebut. Bahwa demokrasi adalah sistem yang paling baik untuk menjadi jiwa atas semua bangsa di dunia. Demokrasi seperti penengah atas semua benturan ideology yang tengah berkembang.
Indonesia, sejak pertama kali negeri ini dibangun, demokrasi sudah membersamainya. Demokrasi seolah menjadi jiwa atas bangsa yang tengah berkembang ini. Setiap hal yang bertentangan dengan demokrasi, dalam sejarahnya selalu menuai keruntuhan. Kesadaran inilah yang kemudian mengerakkan berbagai bangsa di dunia, untuk selalu berkompromi dengan demokrasi. Setiap nilai-nilai yang terkandung dalam konsep demokrasi, akan selalu dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa yang ingin bertahan hidup dengan lebih lama.
Kadar dari Jiwa demokrasi dalam setiap Negara, dapat diukur dari setiap isi undang-undang yang berlaku dalam Negara tersebut. Apakah semua undang-undang yang ada telah menjamin kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul, mewujudkan keadilan sosial, dan menciptakan kesejahteraan umum. Atau justru sebaliknya. Atau hanya beberapa saja, maksudnya satu sisi menjamin kebebasan berserikat, tapi satu sisi menentang kebebasan berpendapat. Sejauh mana perhatian undang-undang terhadap nilai-nilai dari konsep demokrasi tersebut, maka sejauh itulah jiwa demokrasi atas sebuah bangsa.
Walaupun dalam praktiknya, apa yang tertuang dalam undang-undang terkadang tidak sesuai dengan realitas. Karena tidak sedikit oknum-oknum yang memiliki jabatan dalam struktur Negara, sering mengangkangi undang-undang yang berlaku. Semua ini disebabkan mentalitas para oknum itu yang terkadang masih feodal. Misal dalam praktik penegakkan hukum, orang yang lebih kuat atau lebih kaya terkadang bisa menerima hukuman yang lebih ringan dibandingkan orang yang miskin dan lemah, walaupun keduanya melakukan pelanggaran hukum yang sama. Praktik-praktik penyelewengan seperti diatas, hampir sering terjadi dalam setiap Negara-negara yang tengah bertumbuh dengan demokrasi. Ini posisinya seperti duri dalam daging, menyakiti tapi tidak selalu membunuh. Berbeda halnya ketika isi undang-undangnya sudah tidak lagi berjiwa demokrasi, maka ini ancaman bagi masa depan bangsa yang memiliki undang-undang tersebut.
Lalu bagaimana dengan Perpu No 02 tahun 2017, yang baru saja disahkan menjadi undang-undang. Kalau kita pelajari riwayat bagaimana undang-undang ini lahir, maka kita bisa katakan bahwa undang-undang tersebut tidak berjiwa demokrasi. Rangkaian protes terhadap kebijakan pemerintah Jokowi yang muncul akhir-akhir ini, telah menginiasi lahirnya undang-undang tersebut. Beberapa ormas yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, terancam untuk dibubarkan oleh pemerintah, sebagaimana dibubarkannya HTI.
Tentu hal ini bertentangan dengan demokrasi dan juga konstitusi Negara kita, yang menjamin kebebasan berpendapat dan berserikat. Undang-undang semacam ini tentu berbahaya bagi masa depan bangsa kita. Karena setiap Negara yang memiliki undang-undang tapi tidak berjiwa demokrasi, maka sama halnya dengan Negara tidak dalam penguasaan rakyat. Dan Negara yang tidak dikuasai oleh rakyat, maka dia akan menjelma menjadi Negara yang dikuasai oleh sekelompk orang. Dan Negara yang dikuasai oleh sekelompok orang, maka akan memancing berbagai macam pemberontakan.
Oleh: Setiyono (Aktivis Pergerakan)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan