Ketua Umum Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI) Rieke Diah Pitaloka memberikan sambutan saat rapat akbar FPPI di GOR Jakarta Utara, Selasa (20/6/2017). Rapat akbar tersebut sebagai bentuk refleksi terbuka atas pengelolaan aset nasional JICT yang tidak sesuai konstitusi dan Undang-Undang serta maraknya ketidakadilan bagi pekerja pelabuhan di Indonesia termasuk maraknya praktik outsourcing yang menyalahi aturan. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Para sopir yang tergabung dalam Awak Mobil Tangki (AMT) dan terafiliasi dengan PT Pertamina (Persero) yang belakangan banyak dipecat karena menuntut hak normatif dikecam pihak DPR.

Padahal mereka sudah bekerja bertahun-tahun, tapi masih belum disejahterakan. Ketika mereka menuntut haknya malah terkena kebijakan pemecatan dari pihak perseroan. Untuk itu, Pertamina yang sebagai BUMN harus taat hukum, termasuk UU Ketenagakerjaan.

“Pertamina itu kan BUMN seharusnya menjadi contoh bagaimana perusahaan plat merah tersebut tunduk terhadap perundang-undangan yang berlaku. Seperti UU Ketenagakerjaan,” cetus Anggota Panja Pertamina Komisi VI DPR, Rieke Diah Pitaloka di Jakarta, Minggu (29/10).

Bahkan kondisi yang masih diterima para sopir AMT ini sempat mengancam ke pemerintah, jika tak ada perbaikan hidup mereka mengancam tak akan lagi memilih Jokowi di Pilpres nanti.

“Makanya, persoalan para sopir AMT harus dilihat secara arif dan konsekuen, harus ditinjau dari Indonesia sebagai negara hukum,” cetus politisi dari PDIP itu.

Rieke mengurai kembali kronologi dari persoalan yang melilit AMT Pertamina. Di mana, mereka sejak 2004 telah dipekerjakan dengan status hubungan kerja kontrak oleh anak perusahaan Pertamina yaitu PT Pertamina Patra Niaga.

Para AMT kemudian dialihkan menjadi tenaga outsourcing melalui Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja (PPJP) PT Cahaya Andika Tamara sejak 2012, lau dikelola oleh PT Sapta Sarana Sejahtera per 2015, baru kemudian dipegang oleh PT Garda Utama Nasional pada 1 Maret 2017.

Ditengok dari pekerjaannya, kata dia, para sopir AMT Pertamina ini pekerjaannya merupakan core business PT Pertamina Patra Niaga yang selama ini mendistribusikan BBM. Sehingga dengan mempekerjakan dengan sistem outsourcing merupakan pelanggaran UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama pasal 66 ayat 1 dan ayat 4.

Sementara pihak Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara juga telah menerbitkan nota pemeriksaan pada 26 September 2016 Nomor: 4750/-1.838 dan 5 Mei 2017 Nomor 1943/-1.838 yang menyatakan bahwa status hubungan kerja AMT beralih menjadi pegawai tetap PT Pertamina Patra Niaga dan meminta agar hak normatif dipenuhi, tetapi tidak dijalankan.

“Dalam perkembangannya ternyata ada 1.095 pekerja AMT di-PHK sepihak. Disertai gaji dan hak normatif yang tidak diberikan,” cetus Rieke.

Untuk itu, Rieke mendesak, demi UU dan peraturan perundangan serta atas nama hukum yang berkeadilan dan berperikemanusiaan mendesak PT Pertamina Patra Niaga segera mempekerjakan kembali AMT yang dipecat sepihak. Dan mengangkatnya sebagai pekerja tetap.

“Kami juga mendesak PT Pertamina Patra Niaga agar membayarkan upah dan hak lain dari AMT yang di-PHK sepihak itu,” kecam dia.

 

Pewarta : Busthomi

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs