Jakarta, Aktual.com – Budayawan Radhar Panca Dahana, mengatakan peringatan Sumpah Pemuda selama bertahun-tahun lebih mengutamakan seremonial tanpa gerakan substantif untuk membela negara.
“Jika mencermati para pemuda pada era tahun 1920-an, para pemuda dari berbagai daerah menyatakan visi dan sikap yang sama untuk membentuk negara merdeka bernama Indonesia,” kata Radhar Panca Dahana pada diskusi “Memaknai Sumpah Pemuda” di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin (30/10).
Menurut Radhar, para pemuda dari berbagai kelompok seperti Jong Java, Jong Sumatranen, Jon Selebes, Jong Ambon, dan sebagainya bersatu dan sepakat membuat Sumpah Pemuda yakni bertanah air satu, berbangsa satu, serta berbahasa satu.
Dari tiga sumpah tersebut, menurut Radhar, berbahasa satu bahasa Indonesia adalah wujud pengakuan budaya.
Radhar menceritakan, di Indonesia banyak sekali bahasa daerah, tapi Belanda menyusun bahasa melayu tinggi menjadi bahasa Indonesia.
“Bahasa melayu tinggi ini sebenarnya adalah bahasa melayu yang sudah disterilkan oleh ahli bahasa bangsa Belanda, Van Ophuijsen,” katanya.
Menurut Radhar, dalam perjalanan, bangsa Indonesia terjadi generasi hilang pada era orde baru, di mana kerativitas masyarakat Indonesia dibatasi.
Saat ini, setelah generasi berikutnya tumbuh, menurut dia, generasi yang lahir pada tahun 1960-an, tidak dapat menjembatani perkembangan teknologi dengan pemda saat ini.
“Ini terjadi karena adanya ‘lost generation’ pada era orde baru,” katanya.
Menurut Radhar, pemuda saat ini yang mendapat pendidikan baik, haus terhadap informasi dan wawasan, tapi karena tidak mendapat informasi dan wawasan dari orang tuanya, mereka mencari yang ada di internet.
“Pemuda mencari informasi soal kultural dan identitas nasionalisme kepada orang tuanya, tapi tidak ditemukan,” katanya.
Karena itu, katanya, pemuda saat ini mengadopsi informasi yang sudah ada di virtual dan dunia maya, sehingga pemaknaan terhadap identitas diri dan nasionalismenya jadi bergeser.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: