Sana’a, Aktual.com – Mansour selalu ingin kembali ke sekolahnya untuk mengajar murid-muridnya seperti yang dulu biasa ia lakukan selama 22 tahun, sebab ia sebenarnya tidak suka dengan pekerjaan barunya, menjual Qat.
Pada awal 2017, setelah krisis gaji mulai makin dalam di Yaman, Mansour dipaksa mencari pekerjaan baru untuk menunjang kelurganya, yang memiliki 10 anggota –dengan delapan anaknya.
“Saya mencari pekerjaan selama berbulan-bulan. Lalu seorang pedagang Qat meminta saya membantu dia di toko Qatnya di Jalan Hayel dan saya setuju,” kata Mansour, guru sekolah dasar.
Banyak rekannya telah mulai bekerja sebagai pedagang Qat, kata Xinhua –yang dipantau di Jakarta, Rabu (1/11). Sebagian temannya telah mendapatkan pekerjaan lain termasuk di sektor bangunan dan di organisasi kemasyaraaatan.
Tahun ajaran baru belum dimulai di wilayah yang dikuasai milisi Syiah Al-Houthi, tempat kebanyakan warga Yaman tinggal. Tahun ajaran baru mestinya telah dimulai pada September.
Ada 166.000 guru yang belum menerima gaji sejak September 2016, kata PBB. Badan dunia itu memperigatka bahwa perang yang berkecamuk dan krisis gaji mengancam dunia pendidikan buat seluruh 4,5 juta anak di Yaman.
Ada sebanyak tujuh juta anak usia sekolah di negeri tersebut, dua juta di antara mereka tak bersekolah, kata Dana Anak PBB (UNICEF).
Guru melakuka pemogokan untuk penuntut gaji mereka dibayarkan, tapi reaksi pemerintah yang bertikai tidak positif.
“Pemerintah di Sana’a memberitahu kami bahwa mereka akan memberi separuh gaji kami dalam bentuk kontan setiap bulan dan sisanya dalam bentuk kartu pasokan. Dan pemerintah di Aden cuma berbicaramengenai penghalang yang menghalanginya membayar gaji kami,” kata Mansour.
Di wilayah yang dikuasai pemerintah di Yaman Selatan, sekolah telah dibuka kembali tapi masih menghadapi kendala akibat situasi keamanan yang rentan dan kerusuhan politik.
Pada Agustus, Ayeda Al-Absi, seorang perempuan guru, menulis, “Ini lah telah kami tanggung akibat pemerintah yang tidak efektif. Saya menawarkan salah satu ginjal saya untuk dijual agar saya bisa menyelamatkan anak-anak satu dari kelaparan. Gaji adalah hidup kami.” Kedua pemerintah itu saling menyalahkan sebagai pangkal kegagalan mereka membayar gaji pegawai.
“Saya tidak memperoleh banyak uang dari pekerjaan baru saya, tapi saya bisa bertahan hidup dari itu. Pendidikan menghadapi perang yang kejam di Yaman. Sayang membuat frustasi ketika hidup berubah menjadi perjuangan berat untuk berthaan hidup,” kata Mansour.
Pada awal Oktober, seorang menteri Al-Houthi yang kontroversial menyarankan penutupan sekolah selama satu tahun dan mengirim guru serta murid ke medan perang agar milisi Syiah tersebut bisa menang dalam perang.
Salah satu masalah paling berbahaya yang dihadapi dunia pendidikan di Yaman ialah pemerintah Al-Houthi-mantan presiden Ali Abdullah Saleh telah mengubah isi kurikulum. Para pendidik telah memperingatkan kurikulum baru itu tidak menerima hidup berdampingan atau perdamaian dan hanya akan menyulut sektarianisme.
Di dalam buletin bulan Oktobernya, PBB menyatakan ada 12.200 sekolah, dari seluruh 15.800 sekolah, yang ditutup terutama gara-gara gaji yang tidak dibayarkan.
Sebanyak 2.531 gedung sekolah telah rusak, menampung orang yang menjadi pengungsi di dalam negeri mereka atau diduduki oleh kelompok bersenjata, dan mempengaruhi 1,5 juta anak, kata PBB. Ditambahkannya, 169 gedung sekolah masih diduduki sampai Agustus, termasuk 146 sekolah oleh orang yang menjadi pengungsi di dalam negeri mereka dan 23 oleh kelompok bersenjata di Taiz, Hajjah, Ibb, Marib dan Al-Jawf.
Seebagian besar sektor pendidikan tinggi juga telah terpengaruh oleh krisis itu. Pengajar perguruan tinggi belum menerima gaji mereka selama lebih dari satu tahun. Banyak dosen dan staf administrasi di Sana’a University telah diserang, diancam dan dipecat dari posisi mereka. Sebagian dari mereka mengeluh bahwa pemerinta Al-Houthi-Saleh telah mengganti mereka dengan pendukung Al-Houthi termasuk dengan orang yang tidak berkualitas.
ANT
Artikel ini ditulis oleh:
Antara

















