Jakarta, Aktual.com – Institute of Development on Economics (Indef) menyebut beberapa kebijakan populis pemerintah dalam bidang ekonomi telah memberatkan anggaran negara.
“Populis di mata masyarakat, khususnya di Indonesia bagian timur melalui PLN dan Pertamina, tapi ongkos ekonomi yang ditanggung cukup berat,” ungkap Peneliti Indef, Bhima Yudistira dalam diskusi di Jakarta Selatan, Kamis (23/11).
Ia menambahkan, pemerintah cenderung mengorbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mensukseskan kebijakan populis ini demi meraih citra positif di mata masyarakat.
Salah satu contohnya adalah penerapan satu harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini pun disebutnya mengagetkan Pertamina secara finansial.
“Bukan kita menolak tapi harusnya dilakukan bertahap, pilih lima daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi dulu,” jelasnya.
Berdasar peta jalan (road map) BBM Satu Harga, pemerintah menargetkan pengoperasian 150 lembaga penyalur, termasuk di Papua, hingga 2019 mendatang. Terdiri dari 54 titik pada 2017, 50 titik pada 2018, dan 46 titik pada 2019.
Namun, hingga Oktober tahun ini, Pertamina baru menyelesaikan 25 titik dari target 54 titik daerah yang telah disamakan harga BBM-nya.
Dari sisi keuangan, program BBM satu harga yang menargetkan 150 titik hingga 2019 mendatang ini diperkirakan mencapai Rp3 Triliun.
“Jadi BUMN kita itu kita ditekan oleh pemerintah melalui penugasan yang sulit dan memberatkan,” tambahnya.
Sekedar informasi, Pertamina telah merogoh kocek sebesar Rp800 Miliar untuk menerapkan BBM satu harga di Papua.
Teuku Wildan A.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan