Jakarta, Aktual.com – Pada Mei 2016, Nusa Dua Bali ramai dikunjungi wisatawan politik dari berbagai kekuatan. Ada kalangan istana, konglomerat, wartawan, analis pengamat, dan tentu saja para petinggi Partai Golkar (PG) dari berbagai penjuru Indonesia. Ya, saat itu PG sedang melaksanakan perhelatan besar. Yakni Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) karena kisruh antara kubu Munas Ancol (Agung Laksono) dan kubu Munas Bali (Aburizal Bakrie).

Di Munaslub kali ini, muncul calon Ketua Umum Ade Komaruddin, Setya Novanto (SN), Priyo Budi Santoso, Airlangga Hartarto, Azis Syamsuddin, Indra Bambang Utojo, dan Mahyudin. Saya bersama Effendi Gazali, dan Firmansyah hadir sebagai Panelis Debat Calon Ketua Umum yang disiarkan langsung oleh tvOne atas undangan Komite Etik Panitia Munaslub.

Pada Munaslub itulah saya merasa para petinggi Partai Golkar masuk ke situasi yang berpotensi melecehkan 18.432.312 suara rakyat (14,75%). Kenapa ? Dua jam sebelum acara debat berlangsung, Panitia mengundang Panelis tentang mekanisme debat.

Sebagai panelis debat pada puluhan debat calon Gubernur, Bupati, dan Walikota di berbagai pemilihan kepala daerah, saya hanya mengajukan pertanyaan, apakah boleh mengajukan pertanyaan kasus hukum. Di tangan saya, ada dua kasus hukum SN.

Pertama kasus hukum Cessie Bank Bali, yang hampir semua tokoh utamanya sudah mendapat putusan hukum berkekuatan tetap. Joko Sugiarto Chandra bahkan mendapat vonis Kasasi MA dua tahun penjara yang buron hingga hari ini.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta