Sejumlah petani Telukjambe kembali melakukan aksi kubur diri di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (2/5/2017). Aksi tersebut dilakukan untuk mendapatkan perhatian pemerintah terkait konflik agraria di Telukjambe, Karawang, Jawa Barat. AKTUAL/Munzir
Jakarta, Aktual.com – Konflik agraria antara masyarakat Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara dengan PT Malisya Sejahtera (PT. MS), perusahaan perkebunan kelapa menjadi keprihatinan atas tumpang tundih perizinan lahan.
Meskipun Presiden Jokowi telah memprioritaskan program reforma agraria, nyatanya konflik agraria masih banyak terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) sepanjang tahun 2016 sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar, dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Pada tahun sebelumnya tercatat 252 konflik agraria, maka terdapat peningkatan signifikan di tahun ini, hampir dua kali lipat, termasuk di Tiberias. Konflik pecah ketika pada tahun 2015, Perusahaan datang dan mengklaim lokasi tersebut miliknya. Masyarakat harus menyerahkan hasil panennya kepada PT MS, jika tidak maka masyarakat tidak diperbolehkan bercocok tanam di lokasi yang diklaim oleh perusahaan.
Mendapati hal seperti itu, masyarakat tentu melawan. Menurut masyarakat tanah tersebut merupakan tanah milik negara eks Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang sudah habis yang kemudian dikelola oleh masyarakat.
“HGU yang dimiliki oleh PT MS yang digunakan untuk mengklaim lahan itu tidak sah dan ilegal, Izin HGU-nya keluar pada tanggal 31 Oktober 2001, sedangkan perusahaannya baru resmi didirikan pada 28 Juni 2002. Ada kejanggalan dalam proses penerbitannya, tidak mungkin izin keluar terlebih dulu, baru perusahaannya ada. Secara administrasi dan hukum ini cacat.” Ujar Abner Patras, perwakilan dari Masyarakat Tiberias secara tertulis, Senin (11/12).

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta