Jakarta, Aktual.com – Lembaga Pengkajian Persaingan dan Kebijakan Usaha, sebuah Pusat Riset Universitas Indonesia menggelar Seminar Nasional bertajuk Eksaminasi Putusan KPPU Atas Perkara di No.09/KPPU-L/2016 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta, Rabu (13/12).

Dalam acara ini akademisi menilai vonis bersalah yang dijatuhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan kepada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) atas perkara monopoli harga gas bumi yang terjadi di Medan, Sumatera Utara keliru.

“Saya melihat terdapat beberapa hal yang kurang cermat atau kurang tepat dari putusan KPPU ini,” kata Kurnia Toha, Akademisi Hukum Universitas Indonesia dalam seminar tersebut.

Salah satunya, menurut Kurnia, tudingan majelis komisioner yang menyebut PGN melakukan monopoli. KPPU menyatakan PGN memonopoli harga gas lantaran penetapan harga gasnya tidak mengikuti mekanisme pasar.

Kurnia mengatakan, pertimbangan majelis komisioner KPPU ini tidak tepat. Sebab, kata Kurnia, merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002 Tahun 2003, Pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 sudah dibatalkan.

Pasal ini semula mengatur bahwa penetapan harga bahan bakar minyak dan harga bahan bakar gas diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat, wajar, dan transparan.

Menurut Kurnia, setelah putusan MK tersebut, pemerintah membuat peraturan turunan berupa PP Nomor 30 Tahun 2009 yang menyebutkan harga bahan bakar gas dan minyak tidak lagi melalui mekanisme pasar, melainkan diatur dan atau ditetapkan oleh pemerintah.

“Jelas keputusan KPPU ini bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Kurnia.

Kurnia menambahkan, KPPU juga keliru menyatakan PGN terbukti melakukan praktik monopoli dalam bentuk menetapkan harga jual gas yang berlebih (excessive price).

“Excessive price adalah harga yang tinggi terus menerus, dalam kasus ini PGN menetapkan harga berdasarkan peraturan perundang-undangan, bahkan telah melapor kepada menteri,” tutup Kurnia.

(Reporter: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka