Petugas pemadam kebakaran (Damkar) need an pengamanan dalam (Pamdal) saat berusaha memadamkan api saat kebakaran di ruang Air Handling Unit (AHU) di Gedung Nusantara III, DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11). Petugas pemadam kebakaran berhasil memadamkan api sehingga tidak meluas ke ruang lain di lantai 2 dan belum diketahui penyebab kebakaran. Sebanyak 3 mobil damkar diterjunkan dalam kejadian kebakaran ruang AHU DPR tersebut. AKTUAL/Tino Oktaviano

Formappi, 2017, Tahun Terburuk, DPR

Jakarta, Aktual.com – Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai tahun 2017 menjadi tahun terburuk dalam sejarah DPR. Selain sang pimpinan justru tersangkut masalah pribadi termasuk kasus hukum, beberapa petinggi bahkan juga pernah beberapa kali diadukan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena melakukan pelanggaran etik.

“Fahri dan Fadli dilaporkan dua kali ke MKD karena kompak dan saling melindungi kepentingan pribadi pimpinan DPR. Setya Novanto satu kali (dilaporkan). Namun dari keseluruhan laporan itu tidak ada yang di proses,” kata peneliti Formappi I Made Leo Wiratma dalam diskusi bertajuk ‘Catatan Evaluasi Akhir Tahun DPR’ di Kantor Formappi, Jakarta, Kamis (21/12).

Dalam kesempatan tersebut, Formappi merilis tiga hal yang menjadi sorotan kelembagaan DPR selama tahun 2017, yaitu terkait kepemimpinan DPR, kode etik, kehadiran anggota DPR pada sidang paripurna.

Mengenai pelanggaran etik, MKD pun dinilai Leo sebagai lembaga yang sudah tumpul dalam menegakkan etika para wakil rakyat.

“MKD ini selain mandul, juga masih meninggalkan banyak persoalan. Seharusnya, Ketua MKD adalah dari PKS tetapi dari Gerindra. Hal itu yang terus dituntut oleh PKS,” jelasnya.

Leo, menilai pimpinan DPR tidak disiplin dan konsisten sebagai juru bicara DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari  sikap Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang antusias menerima delegasi demonstrasi dan penyampaian aspirasi yang dilakukan Forum Umat Islam (FUI). Sementara Ketua DPR Setya Novanto berpendapat aksi tersebut mestinya tidak perlu dilakukan.

“Perbedaan sikap antar piminan DPR boleh saja tetapi itu harus diselesaikan dalam rapat piminan dan setelah keputusan didapat maka sikap keluar harus satu sesuai keputusan itu,” kata dia.

“Mengelola permasalahan di intern pimpinan saja mereka tidak mampu, apalagi memanage DPR keseluruhan. DPR adalah lembaga negara, bukan milik keluarga yang dapat dilakukan semuanya,” sambung Leo

Lebih lanjut, Leo menuturkan, Formappi juga menilai anggota DPR selama 2017 ini sangat banyak absen dalam mengikuti sidang-sidang paripurna. Karenanya, tidak heran kinerja DPR tahun 2017 tidak juga membaik dari tahun sebelumnya.

“Rata-rata kehadiran anggota adalah 41 persen. Seharusnya, sidang menjadi tidak sah karena tidak memenuhi kuorum. Namun pimpinan menyerahkan hal itu dengan kebijakan pimpinan (sidang), meskipun melalui penundaan,” tukas dia.

Sementara itu, Abdul Sahid, peneliti Formappi menambahkan, kinerja anggota DPR tidak sebanding lurus dengan hak yang diterima setiap bulannya. Satu anggota DPR, kata dia, diperkirakan mendapat Rp 50 juta sebagai hak nya menjadi anggota DPR. Dana tersebut belum termasuk kunjungan kerja dan reses di Dapil masing-masing.

“Satu kali reses sekitar Rp 150 juta, satu tahun bisa empat atau lima kali reses. Namun yang paling mencuat dan mendapat sorotan publik adalah anggaran pembangunan atau penataan Kompleks gedung DPR,” ungkapnya.

Dalam proses pembahasan anggaran, awalnya BURT DPR merencanakan mengajukan sekitar Rp 7,2 triliun. Namun akhirnya dikurangi menjadi Rp 5,7 triliun dalam RAPBN 2017, dan tidak mengalami perubahan dalam APBN 2018. Angka ini mengalami peningkatan Rp 1 triliun dibanding APBNP 2017 sebesar Rp 4,7 triliun.

“Ironisnya, hingga saat ini, belum ada inisiatif dan terobosan untuk membenahi sistem dan mekanisme pembahasan anggaran di internal DPR. Jika ke depan ini tidak dibenahi, maka setiap saat kita selalu dipertontonkan dengan terjadinya OTT, penangkapan tersangka, terdakwa, atau vonis bersalah terhadap anggota DPR karena terlibat kasus korupsi,” pungkasnya

(Reporter: Teuku Wildan)

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Eka