Jakarta, Aktual.com – Pakar Ekonomi Energi Dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tri Widodo menilai rencana pembentukan holding migas oleh Menteri BUMN, Rini Soemarno, tidak memiliki alasan fundamental untuk kepentingan migas nasioal, malah menurutnya kebijakan itu justru menciptakan suasana gaduh dan masuk dalam sengkarut hukum yang lebih kompleks.
Diketahui bahwa mayoritas atau sekitar 80 persen infrastruktur gas nasional dibangun oleh PGN, sehingga dia melihat motif pembentukan holding migas ini sendiri tidak lain hanya sebatas intrik bisnis Pertamina untuk menguasai atau memanfaatkan infrastruktur yang dibangun oleh PGN.
Lalu dari sudut pandang pemerintah, sangat logis melihat dari aspek ketidakefisiensian apabila Pertamina juga membangun infrastruktur pada serapan gas di wilayah yang terdapat infrastruktur PGN.
Karenanya muncul gagasan menjadikan PGN sebagai anak perusahaan Pertamina, sehingga tanpa bersusah payah membangun infrastruktur, Pertamina akan memperluas jangkauan pasar dengan memanfaatkan pipa transmisi maupun pipa distribusi milik PGN.
Namun hal inilah yang mengecewakan bagi Tri Widodo; bahwasannya rencana pembentukan holding migas tidak disertai grand design yang fundamental untuk ketahanan energi nasioal. Yang lebih buruk dari pelaksanaan holding migas tersebut, malah menciptakan banyak masalah baru dan sekaligus menandakan kegagalan Menteri Rini dalam managerial untuk mendorong sinergi antar perusahaan BUMN.
“Untuk kepentingan apa holding? kan PGN dan Pertamina dua-duanya milik pemerintah, jadi nggak perlu holding. Saya melihat motif holding migas ini lebih kepada internal, tidak ada tujuan besar, jadi untuk apa? Ini membuktikan kegagalan pemerintah membuat BUMN bersinergi. Kalau memang Rini memiliki kemampuan managerial tuk membuat BUMN bersinergi, holding tidak dibutuhkan sama sekali. Holding itu malah membuat banyak masalah baru,” kata dia kepada Aktual.com, Rabu (3/1).
Lebih lanjut dia memaparkan; pada proses realisasi pembentukannya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016, telah mengangkangi fungsi pengawasan DPR dan melanggar Undang-Undang BUMN yang mana harusnya setiap pegalihan saham pemerintah mesti melalui persetujuan DPR.
“Harusnya selesaikan dulu revisi UU BUMN. Dengan penerbitan PP 72 ini jadinya seperti potong kompas tuk menghindari DPR. Jadi melanggar UU BUMN. Belum lagi sekarang tengah bergulir revisi UU Migas yang katanya ada BUK, nah ini tidak sejalan dan lebih runyam lagi maslahnya jika holding ini dipaksakan,” kata dia.
Lalu kemudian dengan perbedaan budaya pada masing-masing perusahaan, ia menyangsikan BUMN ini dapat bekerja secara efektif setelah diholdingkan.
“Budaya kerjanya beda dan pola bisnisnya juga berbeda antara PGN dengan Pertamina. Misalkan holding semen aja yang produknya sejenis ternyata gagal meningkatkan produksi, apalagi PGN dan Pertamina yang tidak sama,” tuturnya.
Namun yang pasti tegas Tri Widodo, wacana pemerintah telah merugikan bagi PGN. Mengingat PGN merupakan perusahaan terbuka, sehingga sahamnya menjadi tertekan.
Secara historical, sepanjang tahun 2017 Saham PT Perusahaan Gas Negara menjadi pemuncak daftar saham-saham pemberat Indeks harga saham gabungan (IHSG).
Harga saham BUMN penguasa hilir gas bumi itu telah anjlok 41,5 persen sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan per 6 Desember 2017. Ia menempati urutan pertama dalam daftar saham Laggard (pemberat) IHSG secara year to date dengan kontribusi tekanan sebesar 24,8 poin.
“PGN itu perusahaan publik sehingga dengan wacana holding telah menjatuhkan harga sahamnya dan membuat investor tidak percaya. Jadi wacana holding membuat iklim investasi tidak kondusif, pembangunan infrastruktur tersendat dan gas tidak terserap,” pungkasnya.
Pewarta : Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs