Gedung tersebut mulai dibangun sejak Desember 2013 dengan nilai kontrak Rp195 miliar direncanakan memiliki 70 ruang pemeriksaan dan gedung penjara yang mampu menampung 50 orang, 40 pria dan sepuluh wanita.

Jakarta, Aktual.com – Hari ini Indonesia tersentak dengan beredarnya surat dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tertanggal 29 Desember 2017 yang meminta Menteri ATR RI segera mencabut sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) terhadap dua pulau reklamasi, Pulau C dan D di Teluk Jakarta.

Apalagi terbitnya surat itu seiring sudah nyata ada pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo yang mengatakan bahwa mereka sedang mempelajari penerbitan sertifikat HGB itu pada bulan Agustus lalu.

Lantas kecurigaan pun muncul. Kalau KPK sudah mencurigai ada proses penerbitan sertifikat HGB oleh Kantor Pertanahan Jakarta Utara untuk PT Kapuk Naga Indah terlalu tergesa-gesa, berarti indikasi penyimpangan semakin nyata. Minimal penyimpangan atas kewenangan.

Demikian disampaikan Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Junisab Akbar, kepada wartawan, Rabu (10/1).

Ia berpendapat, penerbitan sertifikat kelihatannya buru-buru disebut Agus di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa, 29 Agustus 2017, sehingga kejanggalan dalam penerbitan HGB Pulau D seluas 312 hektare itu semakin jelas. Disebutkannya juga, bahwasanya kini KPK tengah mempelajari proses terbitnya HGB untuk anak usaha Agung Sedayu Group itu.

“Semua hal itu sesungguhnya sudah tegas menjadi patut untuk disidik KPK. Namun mengapa Agus terlihat lembut? Konon pula Gubernur DKI yang tentu secara langsung merasakan efek HGB itu sudah bersurat secara resmi, mengapa KPK tidak juga mulai menyidiknya?, ” kata dia.

Lanjut Junisab, itu kata Agus sebagai bagian dari KPK mengikuti proses izin reklamasi sebab mereka membongkar kasus suap terkait pihak pengembang reklamasi yakni mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja yang tertangkap tangan memberi suap kepada anggota DPRD DKI Jakarta Sanusi. Ini kan preseden kuat bahwa bukan tidak mungkin untuk penerbitan HGB itu terjadi pola yang nyaris mirip.

“Kalimat Ketua KPK itu tidak lazim dan seperti ada ‘yang dijaga’ nya sebab biasanya KPK kerap gunakan ungkapan, tindak pidana korupsi karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu kewenangan. Mengapa untuk HGB ini KPK terlihat lembut?” Sesalnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby