Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro mengatakan kondisi pengelolaan keuangan negara tidak lagi memberikan rasa keadilan bagi rakyat, yang mana dengan diterbitkan Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 2018 telah mensubsidi Partai Politik secara besar-besaran, sementara di sisi lain, Pemerintah ‘menggencet’ subsidi bagi rakyak secara habis-habisan.
Subsidi bagi parpol ini juga berkontribusi bagi defisit APBN, praktis untuk mengejar percepatan pembangunan infrastruktur akan mencari sumber pendanaan dari utang.
“PP tersebut telah melegitimasi negara dalam memberikan kenaikan subsidi ataupun BLT kepada Parpol. Sungguh ironis, ditengah kenaikan subsidi Parpol yang mencapai Rp.1000 per suara dengan total kenaikan dana Parpol mencapai Rp. 111,5 Milyar per tahun dari 13,42 Milyar menjadi Rp.124,92 Milyar per tahun untuk membiayai 12 Parpol Peserta Pemilu 2014,” kata Gigih secara tertulis di Jakarta, Kamis (11/1).
“Seolah dengan kenaikan subsidi Parpol telah memberikan oase kekeringan keuangan yang selama ini menjadi beban Parpol menjelang Pemilu 2019. Sementara disisi lain, Pemerintahan justru melakukan pengurangan subsidi kepada rakyat seperti TDL, BBM, sektor pertanian ( Bibit, Pupuk, dll) dan tambahan beban kesulitan ekonomi lainnya yang menjadikan rakyat masih dalam kubangan kemiskinan,” tambah dia.
Adapun alasan diterbitkan PP ini adalah dalam rangka untuk mengurangi angka korupsi yang selama ini diproduksi oleh parpol. Dan kenaikan subsidi parpol dapat digunakan untuk melakukan pendidikan politik bagi anggota partai dan masyarakat dan untuk biaya operasional sekretariatan parpol.
Namun ujar Gigih, prakteknya jauh api dari panggang ketika akar persoalan pada system politik liberal dengan biaya politik tinggi masih berlangsung ( Pemilu Langsung dan Pilkada Langsung). Bukankah dalam politik liberal tidak ada yang gratis, dan bukan rahasia umum lagi untuk menjadi anggota DPR dan ataupun kepala daerah bisa menghabiskan dana puluhan milyar.
Tidak heran jika perilaku kader-kader Parpol akan cenderung korup. Dalam catatan kami bahwa sepanjang 2017 sudah ada 7 kepala daerah lebih dan puluhan anggota Dewan (DPR/DPRD) yang terciduk KPK karena terlibat korupsi. Inilah titik nadir praktek korupsi yang terus diproduksi lembaga politik DPR dan Parpol. Tidak heran jika DPR dan Partai politik menjadi pilar praktek korupsi.
“Jika tak ada penataan ulang sistem politik yang sangat liberal, sarat korupsi, maka subsidi untuk Parpol tersebut tidak lebih dari legalisasi perampokan terhadap anggaran negara, tak lebih dari upaya para politisi perampok menggunakan uang negara untuk meraih jabatan politik, lalu dengan jabatan tersebut mereka kembali merampok,” pungkas dia.
Reporter: Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka