Jakarta, Aktual.com – Kamis 25 Januari 2018 lalu telah di gelar RUPSLB PGN yang diperintahkan oleh Kementerian BUMN untuk dijalankan dengan dua agenda yaitu perubahan AD/ART dan penggantian pengurus perseroan. Sejatinya RUPSLB ini menjadi milestone penting untuk menerima pengalihan saham Pemerintah di PGN.

Namun agak aneh dan tidak lazim dari RUPS yang sering dilakukan perusahaan Terbuka, pada RUPSLB PGN tersebut ternyata dilaksanakan sebelum ada Peraturan Pemerintah (PP), dalam artian, RUPSLB untuk melepaskan status Persero pada perusahaan, tanpa didasari landasan hukum.

Sehingga hasil RUPSLB dengan agenda perubahan AD/ART menjadi menggantung yakni dengan menunggu terbitnya PP dalam tempo 60 hari. Dengan demikian inbreng saham pemerintah di PGN ke Pertamina selaku holding BUMN Migas menjadi tertunda. Secara faktual RUPSLB tersebut tidak mencapai target.

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Inas N. Zubir menuturkan bahwa yang perlu dicermati dari RUPSLB tersebut adanya signal penting ketidaksetujuan pihak publik dari pemegang saham perusahan tersebut.

Diketahui suara hadir sebanyak 19.211.669.059 (100%). Dari hasil voting terdapat 4.136.656.759 (21%) suara tidak setuju terhadap rencana holding. Lalu suara abstain sebanyak 110.821.600 (0.5%) dan suara setuju sebanyak 14.964.190.700 (77.9%)

Maka bila dihitung suara setuju merepresentasikan 61% dari seluruh total saham, dimana 57% saham PGN dimiliki oleh pemerintah. Sehingga itu adalah suara pemerintah dan yang abstain. Lalu berapa yang tidak setuju? Ternyata bila dicermati yang menolak itu adalah hampir seluruh pemegang saham publik yang hadir.

“Jauh hari sebelum RUPSLB tersebut dilaksanakan, saya sudah mengatakan bahwa pemegang saham publik tidak akan setuju dengan saham dwi warna, dimana Pemerintah yang hanya memiliki saham 1% tapi pemegang otoritas di PGN,” kata Inas kepada Aktual.com, Rabu (31/1).

Maka dari itu lanjutnya, hasil dari RUPSLB PGN perlu dilihat sinyal secara tepat bahwa publik menolak. Dari beberapa diskusi dengan investor yang hadir menyatakan bahwa hasil RUPSLB dan respon dari berbagai pertanyaan yang disampaikan membuat banyak ketidakjelasan.

“Oleh karena itu, bila holding ini tetap dilaksanakan maka berpotensi digugat oleh pemegang saham publik,” ujar dia.

Selain daripada kesiasiaan RUPSLB yang tidak membuhkan hasil dan membuat ketidaknyamanan investasi, konsep saham dwi warta yang mempunyai hak veto kendati pemerintah bukan lagi penguasa mayoritas, menjadi hal yang rancu.

Harusnya sebagaimana yang diatur dalam UU BUMN bahwa sebuah perusahaan dinyatakan statusnya BUMN jika dimiliki dengan penyertaan langsung dengan kepemilikan minimum 51% (mayoritas) dan ada dwi warna. Sehingga akan menjadikannya pengendalian mutlak, mayoritas dan ada saham seri A.

Lebih jauh terkait konsolidasi diperkirakan terganjal PSAK 65 dimana kaidah tentang konsolidasi hanya bisa dilakukan bila memiliki pengendalian penuh. Dalam holding ini, jika saham dwi warna memiliki kewenangan mutlak di PGN, maka secara eksplisit jelas bahwa pengendalian penuh bukan di holding tapi di pemerintah. Dengan demikian nilai aset tidak dapat dikonsolidasi.

Namun dalam putusan RUPSLB terdapat usulan pengalihan hak pemegang saham dwi warna atau hak negara ke holding untuk mengubah anggaran dasar, mengangkat direksi dan komisaris. Upaya ini guna membuat pengendalian ada di holding supaya bisa dikonsolidasikan laporan keuangannya.

Kalau itu dianggap jadi jalan pengalihan kewenangan atau pengendalian penuh dari negara ke badan usaha, hal ini sangat jelas pemerintah telah melakukan privatisasi kepada BUMN PGN tanpa melalui persetujuan DPR.

Pewarta : Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs