Jakarta, Aktual.com – Sebagai Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di sebuah universitas, saya mencoba memahami ide dan gagasan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Prof. Moh. Nasir, yang pada dasarnya ingin memperbaiki kualitas pendidikan di tanah air. Yaitu memberikan kesempatan bagi sejumlah Perguruan Tinggi Asing (PTA) untuk beroperasi dengan membuka perwakilannya di Indonesia. Namun, mengapa pembukaan kampus asing ini seolah menjadi agenda yang penting saat ini?

Di era globalisasi ini, kita memang tidak bisa menutup diri. Namun, pemerintah selaku regulator pun harus cermat. Disatu sisi, pemerintah hendak mereduksi jumlah penyelenggara pendidikan tinggi, yang disebut terlalu banyak sekitar 4.000 institusi. Sementara itu, dibuka peluang pembukaan PTA, yang berpotensi menambah jumlah institusi pendidikan di Indonesia.

Oleh karenanya, kita harus mendesak pemerintah untuk membuat aturan yang jelas dan tegas. PTA seperti apa yang bisa masuk ke Indonesia. Penting bagi pemerintah selaku regulator untuk menentukan kriteria yang selektif. Undang semua stakeholders yang terkait termasuk dari institusi, perwakilan dan asosiasi kampus baik Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia.

Duduk bersama, diskusikan, kaji positif dan negatifnya, rumuskan lalu ambil keputusan yang terbaik. Jangan sampai ketika nantinya izin sudah diberikan dan “kran” ini dibuka, lalu PTA yang masuk justru yang tidak berkualitas. Hanya PTA yang berkualitas dan telah melalui seleksi yang ketat lah yang layak membuka perwakilannya di Indonesia.

Saya berharap dan mengingatkan sejak dini agar hal ini tidak akan berdampak negatif bagi perguruan tinggi yang sudah ada di tanah air. Jangan sampai kebijakan ini justru menjadi model penjajahan gaya baru. Adalah hal yang wajar, jika kita khawatir perguruan tinggi dalam negeri akan menjadi korban, khususnya PTS yang kecil.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta