Jakarta, Aktual.com – Ketua Umum Advokasi Rakyat Untuk Nusantara, Bob Hasan heran dengan sikap Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) dalam menyikapi ‘buku hitam’ Setya Novanto terkait kasus dugaan Korupsi E-KTP.
Pasalnya, Bob sudah pernah menyampaikan bahwa perhitungan dan pemilihan pemenangan pembuatan E-KTP dapat berpotensi merugikan uang negara triliunan rupiah dan judulnya adalah perampokan uang negara Rp6,4 triliun.
“Tahun 2011 saya waktu itu atas nama Jaringan Informatika Indonesia sudah menduga proyek E-KTP akan bermasalah dikarenakan perhitungan dan pemilihan pemenangan pembuatan E-KTP tidak dilakukan secara transparan dan mengabaikan peran BUMN dalam hal ini Peruri,” jelas Bob, Kamis (8/2) di Jakarta.
Bob yang berprofesi sebagai pengacara menjelaskan bahwa set econding E-KTP yang bekerjasama dengan perusahan asal Malaysia (pemenang lelang) tidak sistematis dan masif manfaatnya karena pada waktu itu bertujuan terhindarnya dari gerakan teroris serta perhelatan pemilu sebagai data pemilih.
“Tentang set econding itu tidak bisa dibuat dengan cara semabarangan dan pemegang set econding harusnya Pemerintah Pusat, analoginya sama dengan kartu ATM Bank dimana yang pegang adalah kantor Pusat Bank walaupun nasabahnya mengurus kartu ATM di Cabang. Bahkan pada saat itu saya menyampaikan nilai pembuatan E-KTP hanya membutuhkan dana sebesar Rp800 M-Rp1,2 T dengan segala uraiannya artinya tidak sampai Rp6,4 triliun, akhirnya terjadi pembancakan yang luar biasa dengan angka yang sangat fanstatis,” tegas Bob.
Terkait dugaan keterlibatan Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagaimana yang diungkapan Pengacara Setya Novanto, Firman Wijaya, Bob mengatakan dalam perspektif hukum seharusnya SBY tidak perlu gusar dan melakukan klarifikasi melalui konfrensi pers dengan latar belakang Partai Demokrat.
“Sebagai Presiden pada waktu itu dan selaku Pimpinan Nasional tidak ubahnya dengan Kepala Daeran sesungguhnya telah memiliki fasilitas khusus yang disebut sebagai “Diskresi” atau kebijakan yang diambil di luar Paraturan yang berlaku yang pada akhirnya dapat dimasukan sebagai Peraturan yang mengikat berupa Peraturan Pemerintah yang tidak dapat dikenakan sanksi pidana,” katanya.
Menurut Bob, ada Yurisprudensi Mahkamah Agung terkait kebijakan Diskresi yang tidak di pidana yaitu perkara pengadaan helikopter untuk kepentingan evakuasi korban Tsunami Aceh yang dilakukan Gubernur Aceh pada maasa itu.
“Gubernur Aceh dibebaskan dari tuntutan pidana karena tidak terbukti bersalah, dimana kebijakan mengambil dan membeli helikopter adalah sebuah diskresi yang tidak dapat dipidana, sementara Kadis Perhubungan tetap dipidana karena sebagai pelaksana langsung pembelian helikopter dengan cara di markup harganya dan kerugian negara mencapai Rp35 Milyar,” ujar Bob.
Berdasarkan Yurisprudensi tersebut, kata Bob, SBY selaku Presiden pada waktu itu tidak dapat dipidana.
“Pertanyaanya mengapa SBY begitu gelisah ketika Setya Novanto dengan “buku hitamnya” menyebut nama SBY dan Firman wijaya selaku pengacara Setnov menyampaikan ada yang bermain dan yang paling berkuasa saat itu? Padahal sebagaimana penjelasan saya diatas selaku praktisi hukum, SBY tidak dapat dilibatkan walaupun perlu memberikan informasi kepada penegak hukum,” kata Bob.