Surabaya, Aktual.com – Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) Surabaya Prof Abd A’la menyatakan imbauan untuk tidak bercadar bagi mahasiswa, semata-mata untuk keefektifan komunikasi dalam proses belajar mengajar.

A’la yang ditemui di kampus setempat, Kamis (8/3) mengatakan imbauan itu agar dosen dengan mahasiswanya serta mahasiswa dengan sivitas akademika betul-betul mengenal.

“Maka kami mengimbau dekan, karena ada keluhan dari beberapa dosen. Bahkan mahasiswa pun mengeluh bahwa untuk komunikasi (dengan mahasiswa bercadar) yang efektif tidak begitu tercapai,” ujarnya.

A’la mengaku kurang begitu nyaman ketika bertemu orang tidak dikenal. Misalnya, ketika lewat telepon, A’la meminta janjian ketemu nanti siang. Selebihnya lebih baik “face to face”.

“Dalam konteks itu larangan bercadar atau imbauan kepada dekan bagaimana yang bercadar untuk sebagai bagian dari proses belajar yang efektif itu untuk meninggalkan cadarnya. Jadi lebih komunikasi efektif,” tuturnya.

Dia menegaskan, hal itu berbeda jika mahasiswa sudah terindikasi kegiatan dan ideologi yang radikal, maka akan lain persoalannya. Uinsa nantinya bukan hanya sekadar membina, tapi sejauh mana ideologi itu dipisahkan.

“Memang tidak menutup mata, ada sebagian orang bercadar kadang diidentikkan tapi tidak semua orang bercadar seperti itu,” ucapnya.

Bisa saja orang yang bercadar itu, lanjutnya, kurang pemahaman terhadap agama atau punya semangat yang tinggi tapi pemahaman agamanya kurang. Dirinya mencontohkan, bercadar dianggap itu sunnah Rasulullah, padahal itu masalah yang berbeda.

Selain itu, menurut dia, banyak ulama yang menganggap bahwa wajah dan muka bukan aurat, dalam shalat jelas tidak boleh menutup muka. Kemudian di luar itu masih berbeda dan banyak pendapat.

“Secara logika menghadap Tuhan saja harus membuka muka apalagi ke sesama manusia. Saya tidak bisa membayangkan. Dengan orang bercadar, besok ketemu lagi belum tentu mengenal. Misalnya, tolong mahasiswa didoakan setiap saat. Kalau dia tidak tahu rupanya seperti apa bagaimana bisa mendoakan?” tuturnya.

Meski begitu, dia kembali menegaskan, kebijakan imbauan itu lebih pada persoalan komunikasi. Untuk persoalan ideologi tidak ada tawar menawar. Hanya sekedar bersifat persuasif kalau mahasiswa kurang paham agama.

“Ideologi tentu dijelaskan dulu. Kalau tidak mau kenapa belajar di Indonesia? itu kalau ideologi. Tentang NKRI pasti perlu diskusi lagi. Tapi setelah itu bisa mulai pemecatan, kalau ideologi,” ucapnya.

Namun, A’la memastikan tak ada larangan bercadar di kampusnya dan belum berpikir ke arah sana, begitu juga saat penerimaan mahasiswa baru. “Tidak sekeras itu. Tidak menentukan lulus atau tidaknya,” tuturnya.

 

Ant.

Artikel ini ditulis oleh: