Di tengah semakin memanasnya persaingan global AS versus Cina di Asia-Pasifik, sejak 2007 Inggris melalui India, menggodokg sebuah konsep baru bernama Indo-Pasifik. Sekadar untuk bendung pengaruh Cina di Asia-Pasifik, atau ada rencana jangka panjang untuk mengubah peta Asia Pasifik?
Konsepsi Indo-Pasifik yang digagas oleh Donald Trump (2017), secara geopolitik merupakan pola global yang disebut “creative destruction” (terobosan merusak) akibat fenomena dan/atau masa pasca pematangan —menurunnya hegemoni— skema One Goverment One System (OGOS)-nya Barat di satu sisi, sementara di sisi lain, tumbuh serta berkembangnya —meningkatnya hegemoni— skema One Belt One Road (OBOR)-nya China. Ini asumsi awal tulisan ini. Kenapa?
Ada dua isu aktual lingkungan strategis sehingga membidani Indo-Pasifik, yaitu geopolitical shift (pergeseran geopolitik) dari Atlantik ke Asia Pasifik dan pergantian power concept (penggunaan kekuatan) dalam geopolitik dari mengkedepankan militer berubah menjadi power ekonomi yang di depan.
Artinya apa, barangkali ke depan tidak akan lagi dijumpai peperangan militer secara terbuka antar pihak yang bertikai tetapi perang dagang (trade war) sebagaimana dinyatakan oleh Trump. Dengan kata lain, Indo-Pasifik yang dipersiapkan oleh Trump bersama Sinzo Abe (Jepang) dengan India sebagai ujung tombak ialah sinyal atas peperangan asimetris/nirmiliter antara Cina (dan Rusia) versus Amerika (AS) dan sekutu.
Tak boleh dipungkiri, geoposisi (silang) Indonesia berada pada lintasan kedua samudera yang kini tengah diperebutkan dua skema global dimaksud. Artinya, secara takdir geopolitik Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi dalam kancah tersebut. Dan niscaya bakal ada dan menjadi ajang tarik menarik oleh kelompok negara yang berada di balik kedua skema baik OBOR maupun OGOS terhadap Indonesia. Jadi, jangan dikira pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019 akan berjalan apa adanya, begitu-begitu saja.
Di mata global, Indonesia terlalu sexy untuk tidak diintervensi. Para elit politik, aparat dan rakyat harus memahami kondisi itu. Kenapa? Ya. Selain kita punya sikap dalam berpolitik agar selaras dengan Kepentingan Nasional RI (KENARI), bukannya sikap yang malah berpihak terhadap Kepentingan Negara Asing (KENARA), juga agar Indonesia tak lagi menjadi sekedar war of theatre atau medan tempur semata.
Tapi, bagaimana gambaran skema Indo-Pasifik yang sesungguhnya ada di benak Inggris dan AS? Konsepsi Indo-Pasifik sepertinya bukan hanya digagas Washington, melainkan juga London, Inggris. Jejak-jejaknya dapat dibaca ketika pada 2007 Kapten Angkatan Laut India Gurpreet Khurana dari Yayasan Maritim Nasional yang didanai militer India, telah merumuskan aoa yang disebut kepentingan strategis umum India, Jepang dan AS di Samudera Hindia dan Pasifik. Menarik bukan?
Lebih menarik lagi, pada 2013, gagasan Kapten Laut India Gurpreet Khurana dibahas secara lebih mendalam melalui Dialog Strategis AS-India. Dari sini saja jelas bahwa gagasan dari Guspreet Khurana itu bukan sekadar wacana akademik, melainkan sebuah landasan penyusunan kebijakan strategis keamanan global yang dimotori Washington dan London.
India, meski sudah negara merdeka, sejatinya masih terikat dengan kepentingan strategis kerajaan Inggris dalam kerangka Common Wealth atau Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran. Tak pelak lagi, India merupakan proxy agent Inggris dan AS untuk menyosialisasikan konsepsi Indo-Pasifik tersebut.
Hal ini semakin terbukti ketika pada 2013 itu pula Menteri Luar Negeri John Kerry menggulirkan konsep Koridor Ekonomi Indo-Pasifik dalam mengubah prospek pembangunan dan investasi serta untuk perdagangan dan transit antara ekonomi Asia Selatan dan Asia Tenggara.”
Jelas sudah. Bahwa konsepsi Indo-Pasifik dari awal mula penyiusunannya, dimaksudkan untuk membangun koneksitas antara Asia Selatan dan Asia Tenggara. Nampak jelas ini merupakan konsepsi khas Inggris yang ditrapkan sejak abad ke-19. Bahwa untuk menguasai Asia, harus membangun pancangan kaki yang menghubungkan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Maka terbentuklah mata-rantai antara Myanmar, Srilanka dan India.
Menariknya lagi, sejak 2007 itu pula, seiring dengan bergulirnya gagasan Guspreet Khurana, Perdana Menteri Shinzo Abe juga sempat menggulirkan konsepsi Indo-Pasifik ketika berkunjung ke India. Tentu saja hal ini ada kaitannya dengan konsepsi Guspreet Khurana dalam kerangka kebijakan menyatukan kepentingan strategis AS, Jepang dan India.
Kepentingan Jepang dalam skema Indo-Pasifik ini, jelas dimaksudkan untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik. Sebab Jepang menyadari betul adanya gagasan membendung pengaruh Cina melalui konsepsi Indo-Pasifik tersebut.
Namun penggagas sesungguhnya di balik konsepsi Indo-Pasifik adalah AS dan Inggris. Hal itu semakin terbukti ketika gagasan yang digodok sejak 2007 lalu, sembilan tahun 10 tahun kemudian diaktualisasikan kembali oleh Donald Trump saat mulai menjabat presiden AS.
Nampak jelas konsepsi Indo-Pasifik dijadikan kerangka acuan untuk membangun kemitraan dengan sebuah orientasi geopolitik baru yang sesuai skema AS dan Inggris.
Apalagi ketika Menteri Luar Negeri AS kala itu Rex Tillerson ketika berkunjung ke Korea Selatan menggambarkan Samudera Hindia dan Pasifik sebagai “arena strategis tunggal” dan menggambarkan India dan AS sebagai “pembatas” wilayah “Indo-Pasifik.” Apa maksudnya ini? Bisa dipastikan AS dan sekutu-sekutu blok Baratnya sudah punya skema dan gambaran apa yang dimaksud dengan rumusan di atas.
Menyadari skema dan rencana strategis di balik konsepsi Indo-Pasifik tersebut, maka sosialisasi konsepsi Indo-Pasifik yang digulirkan Trump akhir tahun 2017 lalu, bukan sekadar manuver ekonomi dan perdagangan belaka. Lebih jauh dari itu, manuver ekonomi-perdagangan atas dasar skema Indo Pasifik, paralel dengan manuver militer AS di Asia Pasifik melalui kerangka US PACIFIC COMMAND (US PASCOM).
Maka jelaslah sudah bahwa selain harus diwaspadai sebagai perilaku geopolitik AS dan Inggris, konsepsi Indo-Pasifik pada perkembangannya juga akan menciptakan peningkatan eskalasi kekuatan militer di Asia Pasifik. Mengingat begitu kuatnya penekanan pada peningkatan kekuatan militer maupun pengembangan strategi militernya. Dengan dalih untuk membendung pengaruh Cina di Asia Pasifik.
Menyadari adanya kepungan dari dua kutub itu, saatnya para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI, agar mencermati secara intensif perilaku geopolitik negara-negara adikuasa baik dari Blok Barat yang dimotori AS dan NATO. Maupun blok Timur seperti Cina dan Juga Jepang.
Hendrajit, redaktur senior, dan M Arief Pranoto, Direkur Program Studi Geopolitik dan Studi Kawasan Global Future Institute.