Jakarta, Aktual.com – Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Syafruddin Arsyad Temenggung menyatakan bahwa terjadi “error in persona” terkait kasus yang menjerat kliennya itu dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
“Jadi, tuntutan terhadap Syafruddin ini “eror in persona” jadi salah orang sebenarnya karena ini sangat penting diketahui oleh masyarakat ya yang seharusnya dibawa ke pemeriksaan, tahanan dan ke penuntutan bukan beliau bukan Pak Syafruddin Temenggung ini,” kata Yusril di gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Namun, Yusril tidak mau membeberkan siapa yang seharusnya ditetapkan sebagai tersangka.
“Kan tuduhannya Pak Syafruddin ini mengapa menerbitkan SKL kepada Sjamsul dan karena itu beliau diperiksa kemudian ditahan dan kemudian akan dibawa ke Pengadilan padahal kasusnya tidak seperti itu. Beliau telah menjalankan segala tanggung jawabnya sesuai dengan keputusan dari KKSK dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada waktu itu,” tuturnya.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
“Persoalan Pak Sjamsul Nursalim dengan kasusnya sekarang ini diperiksa sebenarnya dua hal yang sama sekali berbeda jadi kalau Pak Sjamsul Nursalim itu sebagai “stakeholder” dari BDNI itu sudah melakukan segala kewajibannya untuk melunasi hutang-hutangnya,” tuturnya.
Persoalan kedua, Yusril menyatakan KPK teleh keliru menafsirkan bahwa utang petambak plasma PT Disapena Citra Darmaja dijamin oleh mantan pemegang saham Bank BDNI atau Sjamsul Nursalim dalam hal ini.
“Jadi, sebagai petani plasma yang dijamin oleh PT Dipasena dan yang mana itu ada satu perjanjian penjaminan antara PT Dipasena dengan para petani tambak dan BDNI. Jadi, kalau misalnya petani tidak dapat membayar utang-utangnya kepada BDNI maka yang membayar adalah. PT Dipasena sebagai penjamin bukan Sjamsul Nursalim sebagai “stakeholder” dari BDNI,” ujarnya.
Untuk diketahui, KPK pada Rabu resmi melimpahkan proses penyidikan ke tahap penuntutan terhadap Syafruddin.
“Jadi mungkin KPK salah memahami persoalan ini. Itu yang akan kami kemukakan di Persidangan dengan menunjukkan fakta-faka, bukti-bukti dan juga akan memanggil para ahli sehingga kasus ini terungkap dengan jelas dengan benar dan tidak terjadi kesalahpahaman sehingga Pak Syafruddin ini dituntut ke Pengadilan,” kata Yusril.
KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017.
Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.
KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.
Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri atas Rp1,1 triliun yang dinilai “sustainable” dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: