Jakarta, Aktual.com – Skandal fraud di PT BFI Finance Indonesia terhadap kepemilikan saham PT Aryaputra Teguharta (PT APT) sebesar 32,32% telah berlangsung hampir dua dekade.
Padahal PT APT selaku pemilik sah saham 32,32% pada PT BFI Finance Indonesia Tbk itu, dahulu PT Bunas Finance Indonesia (BFI), telah berjuang selama 15 tahun lebih mencari keadilan melalui lembaga-lembaga peradilan untuk mendapatkan haknya.
Pheo Hutabarat selaku kuasa hukum yang mewakili PT APT menyebutkan sejak 2007 lalu kepemilikan saham 32,32% itu sah milik PT APT sesuai Putusan MA dalam Peninjauan Kembali (PK) Nomor 240 PK/PDT/2006 tertanggal 20 Februari 2007 (PK 240/2007). Itu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) di Indonesia.
PT APT sebelumnya adalah pemegang saham pengendali 32,32% pada PT BFI Finance, Tbk. tapi kemudian saham-saham tersebut secara ilegal ditransfer dari PT BFI kepada pihak ketiga sejak tahun 2001, yang sesungguhnya bertentangan dengan PK 240/2007 itu. Saat ini pemegang saham pengendali 43% saham PT BFI adalah PT Trinugraha Capital.
Berdasar laporan Bloomberg pada akhir Maret 2018 lalu, total nilai saham PT BFI Finance, Tbk mencapai senilai US$ 1 miliar. Sehingga saham PT APT yang 32,32% itu setara dengan Rp 4 triliun (US$ 300 juta).
Namun sayangnya, diakui Pheo, saat ini ada upaya-upaya yang dideteksi tidak sesuai dengan hukum acara perdata di Indonesia, yaitu diajukannya permohonan PK kedua terhadap Putusan PK No. 240/2006. Sebagaimana yang telah didaftarkan oleh PT BFI dan Francis Lay Sioe Ho pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 20 November 2017.
“Dan permohonan PK kedua itu demi hukum telah ditolak oleh Ketua PN Jakpus Dr. Yanto, SH., M.H, berdasarkan Putusan Penetapan Nomor 50/Srt.Pdt PK/2017/PN Jkt.Pst jo. Nomor 123/Pdt.G/2003/PN yang diterbitkan pada April 2018,” ungka Pheo seperti dalam keterangan media di Jakarta, Senin (14/5).
Pheo menambahkan, penolakan yang dilakukan PN Jakpus adalah sah, merupakan penegakan kepastian hukum dan keadilan di Indonesia. “Karena, upaya PK kedua tidak dapat dibenarkan, serta tidak diperkenankan oleh peraturan per-UU-an yang berlaku di Indonesia,” kata dia.
Dengan kata lain, Putusan PN Jakpus No. 50/2018 merupakan preseden yang harus diikuti dan ditaati oleh pihak-pihak yang berkepentingan maupun badan peradilan di Indonesia serta masyarakat umum.
“Sengketa hukum terkait dengan Putusan PK MA 2006 itu telah diuji melalui proses panjang pada peradilan (due process of law) yang didaftarkan sejak 2003, dan pada akhirnya melalui putusan PK, pengadilan di Indonesia telah memenangkan kepentingan klien kami (PT APT) sebagai pemilik sah saham 32,32% di PT BFI,” ujar Pheo.
Terjadinya transfer ilegal 32,32% saham PT APT yang saat ini berada di tangan pihak ketiga, yang dilakukan oleh manajemen senior PT BFI itu juga didukung oleh pihak ketiga, adalah sebuah lingkaran kejahatan (fraud ring).
“Kami akan segera menempuh jalur hukum secara prosedural untuk meminta pertanggungjawaban hukum terhadap fraud ring ini,” imbuhnya lagi.
Saat ini sedang berlangsung proses negosiasi antara PT BFI dan pemegang saham pengendalinya, untuk mengalihkan atau menjual saham PT BFI di mana di dalamnya terdapat hak atas saham 32,32% milik PT APT.
Untuk menghindari kerugian dan tuntutan hukum lainnya, Pheo ingatkan kepada pihak-pihak terkait, termasuk juga kepada investor, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga instansi pemerintah lainnya dan pejabat yang berwenang.
“Dan kami meminta untuk tidak melaksanakan atau memfasilitasi transaksi apapun, terkait dengan pengalihan saham-saham PT BFI yang selain dapat merugikan PT APT, juga akan memiliki dampak hukum di kemudian hari bagi pihak terkait,” tandas dia.
Artikel ini ditulis oleh: