Jakarta, Aktual.com – Tak ada publik yang menyangka bahwa Pemilihan Umum Raya Negeri Jiran Malaysia yang baru berlalu kemaren akan menghasilkan sesuatu yang mengejutkan. Dengan terpilihnya kembali Dato Sri Mahathir Muhammad, mantan Perdana Menteri Malaysia seangkatan almarhum Presiden Soeharto begitu menjadi berita yang istimewa, tak hanya bagi rakyat Indonesia, Asean, bahkan juga dunia.
Menjabat sebelumnya sebagai Perdana Menteri Kerajaan Malaysia pada Tahun 1981, prestasi yang dicapai Mahathir saat menjalankan pemerintahan adalah rata-rata pertumbuhan mencapai lebih dari 7%.
Kebijakan pembangunan yang dijalankannya adalah secara terencana, bertahap dan terarah serta yang terpenting adalah pro pada bumi putera. Agaknya inilah yang membuat kemenangan mantan Perdana Menteri ini yang dicintai masyarakatnya walaupun telah berusia lanjut dan kemungkinan untuk mengulangi keberhasilan atau prestasi terdahulunya (sucess factor) yang konsepsi perencanaan pembangunan negara Malaysia belajar kepada Indonesia yang saat itu menjalankan Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), juga merupakan konsep yang dahulu diajukan oleh Presiden pertama Republik Indonesia, almarhum Bung Karno yang dikenal dengan Perencanaan Pembangunan Semesta.
Kinerja Ekonomi Jokowi vs Najib
Berbeda dengan kemenangan yang diraih oleh Presiden Vladimir Putin di Rusia sebesar 76% suara, maka kemenangan Mahathir bukanlah kemenangan yang cukup telak. Dari total 222 suara, maka Pakatan Harapan meraih suara sebesar 121 atau hanya 54% saja, artinya bukanlah kemenangan yang signifikan.
Sementara Barisan Nasional memperoleh 79 suara pada Pemilu Raya yang diumumkan hasilnya pada tanggal 9 Mei 2018.
Pertanyaannya adalah, apakah yang membuat Mahathir Mohammad kembali terpilih sebagai Perdana Menteri Malaysia selain faktor dukungan politik, bagaimana sebenarnya perkembangan ekonomi Malaysia selama dipimpin oleh Dato Tun Najib Razak tidaklah mengecewakan, pertumbuhan ekonomi selama Najib Razak memerintah mencapai rata-rata antara 5 sampai dengan 5,59%, lebih baik yang dicapai oleh Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dan di negara Asean termasuk pertumbuhan yang cukup tinggi namun demikian sama dengan Indonesia, pertumbuhan itu tak dinikmati oleh bumi putera atau pribumi
Berbeda dengan Rusia, pertumbuhan ekonominya tidaklah begitu bagus, hanya saja pemerataan ekonomi dan hasil-hasil pembangunannya lah yang membuat Putin dicintai rakyatnya. Tingkat pengangguran di Rusia tak begitu besar, hanya 5,45 (data Juni, 2016) padahal secara makro ekonomi pada saat itu keadaan ekonomi Rusia tidak begitu bagus.
Pertumbuhan ekonomi Rusia sejak Tahun 2014 memburuk, rata-rata hanya mencapai antara 1,5-2%, bahkan lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (WB) memperkirakan bahwa ekonomi Rusia akan mengalami resesi.
Alasannya cukup kuat, sebab tingkat inflasi Rusia mencapai lebih dari 12% dan tingkat kemiskinan mencapai lebih dari 14%. Secara teori ekonomi makro kapitalisme, perkembangan ekonomi Rusia ini adalah anomali, tak sesuai teks ekonomi arus utama (mainstream). Namun demikian, Produk Domestik Bruto (PDB/GDP) dari indikator ekonomi makro itu justru cukup tinggi, yang berarti nilai tambah industri benar-benar dinikmati industri atau rakyat Rusia sendiri.
Adalah Elvira Naubilina, seorang Ekonom yang saat ini menjadi Gubernur Bank Sentral Rusia, yang sama-sama menempuh pendidikan ekonomi di USA, perempuan juga dan tak beda dengan Menteri Keuangan Republik Indonesia saat ini yang telah memoles dan membuat perbedaan dalam kinerja ekonomi makro Rusia, yaitu perbedaan dalam cara mencapai kesejahteraan, mengatasi pengangguran serta melakukan pemerataan pembangunan.
Lalu, apa yang membuat perbedaan kedua orang ini, adalah pada kepercayaan kelembagaan dalam menangani ekonomi negaranya. Elvira tak menggunakan teori yang dianjurkan oleh IMF dan WB, berbanding terbalik dengan Sri Mulyani.
Lalu bagaimana dengan kondisi yang dihadapi oleh Malaysia saat ini pasca terpilihnya kembali Dato Mahathir Mohammad dan dengan isu mengembalikan peran bumi putera ke kancah perekonomian nasional tidaklah seringan saat Mahathir menjabat sebelumnya dengan usia relatif masih produktif dan saat ini bisnis para taipan juga sudah menggurita.
Perlu konsolidasi yang lebih luas secara kawasan, yaitu ASEAN dalam menghadapi ketimpangan ekonomi di dalam negeri masing-masing negara Asean yang didominasi etnik tertentu.
Dalam konteks ini, tentu saja tak hanya soal etnik tionghoa semata atau serbuan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari RRC, tapi lebih dari itu adalah bagaimana caranya Mahathir mengkonsolidasikan Pakatan Harapan itu dalam skala nasional menjadi kekuatan ekonomi bumi putera yang bebas dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam lingkaran kekuasaannya dulu di satu sisi, dan topangan ekonomi politik yang juga diperolehnya dari para taipan Malaysia yang mendukung kemenangan dalam Pemilu Raya saat ini di sisi yang lain.
Kondisi yang hampir sama dihadapi oleh mantan Presiden Republik Indonesia, almarhum Soeharto dan saat ini oleh Joko Widodo.
Mampukah Mahathir Muhammad membawa perubahan dan perbedaan dalam menjalankan sistem ekonomi kroni terdahulu dengan melakukan perubahan sistem perekonomian nasional yang benar-benar dikelola secara produktif oleh bumi putera?
Inilah yang masih ditunggu, walau perasaan emosional kemenangan dengan isu bumi putera menjadi sebuah modal politik, namun membuat perubahan dan faktor keberhasilan (success factor) seperti yang digerakkan oleh Presiden Rusia agaknya cukup sulit.
Mudah-mudahan ini bukan pernyataan yang pesimis, sebab Mahathir sendiri pernah menyampaikan bahwa kemajuan Malaysia hanya bisa dicapai melalui perubahan karakter rakyat Melayu yang sudah mendarah daging, yaitu tak produktif dan kurang disiplin. Semoga ada perubahan karakter ekonomi Melayu kita harapkan walau ruang optimis tak begitu luas.
Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi UGM
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan