Jakarta, Aktual.com — Tarik-ulur soal implementasi Domestik Market Obligation (DMO) batubara terus berlanjut. Terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menggandeng PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan perusahaan batu bara untuk membentuk tim khusus guna mengawal pasokan batu bara bagi kebutuhan dalam negeri.
“Ini kebijakan reaktif. Karena tiba-tiba harga minyak naik juga batubara membaik harganya di pasaran, dari jauh hari tidak ada antisipasi. Panik,” ujar Juru Bicara Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Rizal Calvary di Jakarta di Jakarta, Sabtu (26/5).
Rizal mengatakan, kebijakan ini merupakan bukti bahwa Kementerian ESDM dan PLN tidak punya visi yang kuat membangun energi efisien dan ramah lingkungan atau EBT (Energi Baru Terbarukan).
“Coba kalau sejak dulu, sejak harga energi primer masih murah, EBT sudah dibangun. Situasinya tidak akan ada kebijakan situasional semacam sekarang. Begitu energi primer naik, EBT yang murah dan tidak terpengaruh naik turun harga minyak dan batubara, kita sudah terinstal ke sistem jaringan distribusi,” ucap dia.
Sayangnya, selama empat tahun ini, tidak ada kemajuan berarti soal EBT. Rasio EBT atas energi pembangkit lainnya masih sangat rendah.
“Yang terjadi malah ada 46 EBT sampai sekarang kesulitan mencari sumber pendanaan. Sebab dukungan kepada pengusaha sangat rendah. Padahal mereka terlanjur investasi. Biaya operasional ada yang sudah setengah jalan,” ucap dia.
Sebagaimana diketahui, sebagian besar proyek energi baru terbarukan dalam perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) yang diteken pada 2017, hingga kini belum direalisasikan juga. Salah satu kendalanya adalah pendanaan.
Berdasarkan data PLN sampai dengan triwulan pertama tahun ini, 46 PPA yang masih dalam proses persiapan penuntasan pendanaan (financial close) antara lain terdiri dari 38 pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTMH), lima PLT bioenergi, dua pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), dan satu pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Tercatat baru tiga pembangkit yang sudah mencapai commercial operation date (COD). Pembangkit tersebut terdiri dari PLTMH, PLT Bioenergi, dan PLTA.
Kebijakan PLN ini diperparah dengan hadirnya pembangkit kapal turki (MPP) di laut. “Kapal ini jelas-jelas ‘minumnya’ energi fosil, sudah ada audit Badan Pemeriksa Keuangan akan potensi ruginya ke depan. Tapi PLN bilang karena belum ada gas, sementara pakai minyak. Sebenarnya perencanaanya dulu bagaimana?” ucap dia.
Menurutnya, kalau kehadiran Kapal Turki hanya untuk mengatasi defisit listrik di suatu wilayah, kenapa kehadiran Kapal Turki justru ‘menggeser’ pembangkit yang sudah ada di wilayah tersebut. Padahal Kapal Turki diketahui tida efisien.
Pihaknya meminta agar PLN dan Kementerian ESDM lebih transparan soal kehadiran dan operasional Kapal Turki.
“Publik berhak tahu subsidi dari APBN itu larinya kemana,” ungkap dia.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka