Beberapa anggota DPR dari Fraksi Partai NasDem melakukan aksi walk out saat Rapat paripurna pengesahan RUU MD3 menjadi UU di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/2). Aksi walk out itu dilakukan setelah perwakilan mereka menyampaikan sikapnya terkait penambahan kursi pimpinan DPR, MPR dan DPD dalam revisi UU MD3 itu. Dalam interupsinya, meminta pengesahan revisi UU MD3 ditunda. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Ahli hukum dari Universitas Riau Firdaus berpendapat Pasal 73 Ayat (3) UU MD3 tentang pemanggilan paksa oleh DPR dengan menggunakan pihak kepolisian memunculkan ketidakpastian hukum.

“Penggunaan sarana negara yang dimaksud dengan menggunakan kepolisian, ini ada ketidakpastian (hukum) yang saya pahami dalam konteks pasal itu,” kata Firdaus di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Kamis (31/5).

Firdaus mengatakan hal tersebut ketika memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan oleh salah satu pemohon dalam perkara pengujian UU MD3 di Mahkamah Agung. Dia mengatakan bahwa potret wewenang dan tugas DPR RI dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memang memiliki cakupan yang sangat luas, terutama dalam pengawasan.

“Namun, penggunaan alat negara (kepolisian) dalam pemanggilan paksa ini mampu menimbulkan kesewenang-wenangan karena apa saja yang terkait dengan kode etik dan lain sebagainya itu bisa disalahgunakan dengan bahasa tugas dan wewenang,” kata Firdaus.

Kendati demikian, dia mengatakan bahwa pihaknya tidak menyatakan bahwa ketentuan a quo menjadi inkonstitusional, hanya saja penggunaan frasa “pemanggilan paksa” perlu ditempatkan dengan tepat sehingga tidak multitafsir dan memberikan kepastian hukum.