Jakarta, Aktual.com – Amnesty International Indonesia mengungkapkan 95 korban pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua dalam kurun waktu 2010-2018 tanpa akuntabilitas.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan laporan tersebut mencatat setidaknya 95 korban dalam 69 kasus pembunuhan di luar hukum antara Januari 2010 dan Februari 2018.
Hal ini dipaparkannya dalam peluncuran laporan investigasi “Sudah, Kasi Tinggal Di Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua”, Jakarta, Senin (2/7).
Dari jumlah itu, 56 korban dibunuh dalam konteks nonkemerdekaan dan 39 lain terkait dengan kegiatan prokemerdekaan yang damai seperti unjuk rasa atau pengibaran bendera bintang kejora.
Laporan ini menggambarkan bagaimana polisi dan militer menembak mati para aktivis kemerdekaan dan pengunjuk rasa yang melakukan protes damai serta puluhan warga Papua lain yang tidak terkait gerakan kemerdekaan termasuk seorang pemuda yang mengalami gangguan jiwa.
“Ada 69 kasus pembunuhan yang diverifikasi Amnesty International dan masuk ke syarat ‘unlawful killings‘. Ada 95 korban dari 69 kasus pembunuhan tersebut, dan 85 korban di antaranya adalah orang Papua, selebihnya orang di luar Papua,” kata Usman.
Dia mengatakan pihak berwenang Indonesia hampir sepenuhnya tidak berhasil meminta pertanggungjawaban para aparat keamanan yang menjadi pelaku.
Menurut dia, tidak ada satu pun dari pelaku diadili lewat sebuah mekanisme hukum yang independen. Hanya sedikit kasus di mana pelaku diproses melalui pengadilan militer.
Dia mengklaim dari 69 insiden pembunuhan itu, tidak ada satupun pelaku menjalani investigasi kriminal oleh lembaga independen dari institusi yang anggotanya diduga melakukan pembunuhan.
Sementara, menurut dia, dalam 25 kasus tidak ada investigasi sama sekali, bahkan tidak ada pemeriksaan internal. Sedangkan, dalam 26 kasus, polisi atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengaku bahwa mereka telah melakukan investigasi internal, namun tidak mempublikasikan hasilnya.
Dia mengatakan Amnesty International mendorong pemerintah Indonesia segera menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden�(KSP) Sylvana Maria Apituley mengatakan pemerintah Indonesia terus bekerja keras menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Papua termasuk di Wasior 2001, Wamena 2003 dan Paniai 2014.
“Proses pemerintah melakukan tanggung jawabnya untuk menangani dan mencegah kekerasan seperti ini berlangsung terus menerus,” ujarnya.
Perempuan yang pernah menjabat sebagai Ketua Gugus Kerja Papua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)menuturkan pemerintah tidak pernah mengesampingkan penanganan pelanggaran HAM di manapun termasuk di Papua.
“Penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia ditangani dan ada progres walaupun lambat tapi pasti karena itu tadi masalah besar, panjang, kompleks, saling mengunci sehingga tidak bisa menyelesaikan dengan cepat,” ujarnya.
Menurut dia, dengan adanya komitmen politik yang kuat, konsistensi dan kerja sama yang sinergis, maka pasti ada kemajuan dalam penyelesaian kasus HAM di Papua.
“Saya kira masalah yang kita hadapi cukup besar tetapi upaya-upaya untuk memastikan bahwa ada penegakan hukum terjadi saya kira bisa kita lihat,” ujarnya.
Dia mengapresiasi laporan investigasi Amnesty International tersebut yang mana selain kasus pembunuhan itu, Amnesty juga menyampaikan upaya pemerintah dalam pemenuhan HAM di Papua.
Pada 2016, pemerintah membentuk satu tim yang terdiri dari pejabat pemerintahan, ahli hukum, komisioner Komnas HAM dan para aktivis Papua untuk menangani pelanggaran HAM di Papua.
Dia mengatakan pihaknya akan mempelajari lebih lanjut laporan Amnesty itu.
“Pemerintah melakukan langkah-langkah yang harusnya bisa disimpulkan sebagai suatu uapaya penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan tapi memang percepatan kita menangani itu harus diintensifkan,” ujarnya.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan