Jakarta, Aktual.com – Kesakitan bangsa Indonesia dinilai takkan dapat disembuhkan. Untuk menyembuhkan sakit yang diderita bangsa Indonesia, maka tidak ada cara lain selain mengembalikan konstitusi ke Undang-undang Dasar (UUD) 1945 asli yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Hal ini dilontarkan oleh Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra di Jakarta, Selasa (3/7).
“UUD 1945 itu ‘supreme’, memiliki derajat tertinggi dalam tatanan perundang-undangan, di sini titik utamanya guna mengontrol tujuan negara, sekaligus pembatasan tugas kenegaraan yang bersifat mendasar,” kata Azmi.
Pasalnya, kata dia, tindakan amandemen UUD 1945 direformasi dalam fase 1999 sampai 2002 sebagai pintu perubahan menjalankan arah bangsa dan organ kenegaraan, ternyata terjadi “gagal dalam operasi”.
Harapan dan cita cita reformasi, lanjut Azmi, dilukai akibat cenderung kekuasaan yang diberikan disalahgunakan, kurang amanahnya penyelengara negara dan masih belum siapnya masyarakat pada kebanyakan dalam berdemokrasi.
“Saya mengilustrasikan masyarakat kebanyakan sepertinya belum siap dengan ‘operasi bedah otak’ dan ‘operasi jantung’ melalui amandemen tersebut,” jelasnya beranalogi.
Menurut Azmi, adalah kelitu jika terdapat pandangan yang menekankan pada kesalahan oknum atau manusia yang menjalankan konstitusi.
“Kenapa UUD 45 yang diamandemen menjadi bancakan,” katanya.
Dijelaskan, amandemen UUD 1945 pascareformasi itu terlalu terburu-buru karena belum memikirkan risiko ke depannya antara lain kompetensi, kesiapan masyarakat kebanyakan dalam demokrasi kecepatan yang cenderung masih bablas serta minim etika.
Jadi masih banyak hambatannya, hal-hal yang belum tepat, akibat masih banyak ketidaksamaan landasan filosofis dan tidak mengetahui sejarah sekaligus tujuan bangsa.
“Hal inilah yang menjadi fenomena hambatan dalam memgembangkan praktik mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia. KArenanya harus menyisir dan meletakkan kembali UUD 1945 ke tempatnya semula, ini kunci yang dihilangkan, dan saat ini harus dipergunakan kembali,” katanya.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
