Sejumlah pasukan Detasemen Bravo-90 Paskhas mengamankan tempat kejadian perkara saat menyelamatkan para sandera pada simulasi penanggulangan anti teror di Bandara Adi Soemarmo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (23/3). Simulasi yang dilaksanakan PT Angkasa Pura I dan TNI AU tersebut diselenggarakan guna meningkatkan kesiapan strategi pengamanan bandara oleh gangguan terorisme. ANTARA FOTO/ Aloysius Jarot Nugroho/kye/16.

Jakarta, Aktual.com – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan, negara memiliki tanggung jawab dalam melakukan pembinaan bagi anak-anak keluarga teroris sebagai bagian dalam upaya melawan radikalisasi.

Deputi Kerja sama Internasional BNPT, Irjen Pol Hamidin, di sela-sela seminar internasional “Indonesia International Defense Science” (IIDS) 2018, di Jakarta, Kamis, menjelaskan, anak-anak yang orangtuanya terlibat terorisme harus diambil alih dan dibina secara khusus.

“Mereka yang di bawah umur itu umumnya belum bisa berdiri sendiri. Jadi anak-anak yang terlibat di terorisme itu anak-anak yang bermasalah hukum. Mereka orang-orang yang harus kita ambil alih, harus kita bina secara khusus,” tuturnya.

Sebab, lanjut dia, untuk merekrut teroris itu paling enak mengajak ke lingkungan keluarga.

“Ini yang selama ini kita lupakan. Kita lupa bahwa lingkungan keluarga paling efektif untuk diajak, seperti kasus Surabaya. Jadi BNPT terlibat untuk pencegahan berikutnya. Jadi begitu dia masuk ke sana, maka program ‘counter’ radikalisasi untuk anak-anak itu dilakukan,” ucap Hamidin.

Dia mencontohkan, ada kasus anak yang orangtuanya menjadi pelaku teror di Irak. Ketika diinvestigasi, sang anak tidak pernah berkeinginan menjadi mujahidin seperti yang dilakukan orangtuanya yang sudah tewas.

Namun, lanjut dia, anak di bawah umur tersebut gemar bermain senjata karena faktor lingkungan yang membentuknya. Jika tidak dibina, maka bukan tidak mungkin suatu waktu malah akan mengikuti jejak orangtuanya.

“Jadi anak seperti itu sudah bermain senjata. Mereka mengatakan dia teroris radikal dan akan menjadikannya teroris. Nah itu negara harus mengambil alih. Dia itu contoh dan kami ambil alih. Kita masukan dia ke pesantren, belajar normal, kita jadikan anak normal,” ujarnya.

Oleh karena itu, tambah dia, “negara harus terlibat, tetapi komponen utamanya adalah keluarganya. Kalau kita ambil alih serta merta, kita akan mendapat penolakan. Dan di situ sang anak butuh komunitasnya”.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Andy Abdul Hamid