Jakarta, Aktual.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 telah turun menjadi 9,82% atau 25,95 juta jiwa.
Angka ini terbilang fantastis, mengingat tingkat kemiskinan di tanah air tidak pernah berada di bawah 10% satu dekade terakhir. Bahkan, pemerintah pun mengklaim jika angka ini merupakan yang terendah sepanjang era Reformasi.
Namun demikian, beberapa kalangan justru skeptis terhadap capaian ini. Salah satunya adalah peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP), Gede Sandra.
Dengan sinis, Gede mengungkapkan bahwa ia akan sangat mengapresiasi hal ini, jika pemerintah lebih adil dalam memberlakukan dasar dari capaian itu.
Ia pun mengingatkan pemerintah agar segera menjelaskan kepada masyarakat terkait penggunaan standar garis kemiskinan di Indonesia.
“Kita belum adil dalam mengukur angka kemiskinan. Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS terlampau rendah, (hanya) sebesar Rp 387 ribu/bulan, atau Rp 12.900/hari dan bila dikonversi ke dollar menjadi kurang dari 1 dolar AS per hari,” jelas Gede.
Padahal, menurut Gede, standar garis kemiskinan internasional menetapkan bahwa orang miskin adalah orang yang berpendapatan 1,9 dolar AS per harinya, atau hampir dua kali lipat dari standar yang digunakan oleh pemerintah.
Hal ini dapat diperiksa di sini.
“Dengan menaikkan garis kemiskinan ke 1,5 dolar AS per hari saja, pada tahun 2015, Kementerian Sosial di bawah Ibu Khofifah Indarparawansa saat itu memperkirakan terdapat 40% orang miskin di Indonesia atau sebesar 96 juta jiwa,” papar Gede.
“Melonjak angka kemiskinan hampir empat kali lipat dari versi resmi pemerintah,” tuntasnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan