Jakarta, Aktual.com – Perhelatan sebuah demokrasi, khususnya Pilkada serentak dalam dua tahun terakhir selalu diiringi oleh pengumuman survei politik oleh berbagai lembaga survei.
Namun, sayangnya hasil survei ini tampak jauh berbeda dengan hasil dari Pilkada itu sendiri. Tak pelak, hal ini mengindikasikan bahwa adanya kebohongan yang dilakukan oleh lembaga survei kepada masyarakat.
Dugaan ini menjadi alasan bagi empat orang, yaitu Ahmad Bay Lubis, Hatta Taliwang, Dedy Setyawan, dan Dadang Iswansah, untuk melaporkan sejumlah lembaga survei kepada pihak kepolisian.
Laporan dari empat orang di atas telah diwakili kuasa hukumnya, Djoko Edhi Abdurrahman. Mewakili empat orang kliennya, Djoko melaporkan, setidaknya enam lembaga survei kepada Bareskrim Polri karena dinilai melakukan kebohongan publik dalam rilis survei mereka.
Keenam lembaga survei yang dilaporkan adalah LSI Denny JA, SMRC, Poltracking, Charta Politika, Indo Barometer, dan Indikator Politik.
“Terkait studi elektabilitasnya, itu belum ketahuan sampai quick count. Misalkan angka di siapa, tadi ia ngasih 3,2% ke Asyik (Sudrajat-Syaikhu) di quick count-nya 29%. Sehingga 29% dikurangi 3,2 jadi sekitar 25% ngawurnya,” ujar Djoko di Kantor Bareskrim, Kamis (19/7).
“Nggak ada margin of error-nya sampai segitu. Sekalipun turun Avangers bantu itu enggak mungkin begitu. Itu adalah kesengajaan yang merupakan tindak kriminal,” imbuh dia.
Djoko mengatakan, ada pelanggaran UU ITE Ayat 28 pasal 1 mengenai adanya kesengajaan menyebarkan berita bohong. Ia menambahkan seharusnya lembaga survei memprediksi elektabilitas dan hasil quick count tidak terlalu jauh.
Ia mengambil contoh, dua kasus di Pilgub Jateng dan Jabar. Di Jabar, pasangan Asyik (Sudrajat-Akhmad Syaikhu) hanya mempunyai elektabilitas di bawah 10% ternyata berhasil mengambil posisi kedua di Pilgub Jabar.
Begitu pula dengan pasangan Sudirman Said-Ida yang disangka akan kalah telak ternyata dapat meraup suara yang besar.
Meskipun kesalahan prediksi dari lembaga survei terkait elektabilitas sudah sering terjadi, Djoko mengatakan seharusnya perbedaannya tidak terlalu kontras antara survei elektabilitas dan quick count.
“Enggak biasa (perubahan besar), kalaupun turun dia mau pakai (teori) distribusi seperti apa pun enggak bisa. Apalagi kalau puluhan persen. Ambil buku stasistika di situ margin of error paling besar berapa? Itu paling tinggi 7%,” ujar Djoko.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan