Jakarta, Aktual.com – Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diisi pengurus partai politik (parpol), merupakan upaya untuk menjaga marwah DPD sebagai lembaga legislatif.
“Keputusan MK tersebut memperkuat struktur kelembagaan legislatif menjadi sistem bikameral atau dua kamar. Satu kamar perwakilan rakyat dan satu kamar diisi oleh perwakilan daerah atau senat,” kata Arfianto di Jakarta, Selasa (24/7).
Dia mengatakan tujuan penguatan kelembagaan legislatif menjadi sistem bikameral adalah untuk memperkuat mekanisme check and balances antara eksekutif dan legislatif.
Menurut dia, apabila anggota DPD merangkap jabatan sebagai pengurus partai politik, maka dikhawatirkan mekanisme “check and balances” menjadi tidak seimbang.
“Dikhawatirkan mekanisme tersebur tidak seimbang karena keanggotaan DPD nantinya akan diisi oleh kepentingan partai,” ujarnya.
Arfianto menegaskan bahwa seharusnya kepentingan anggota DPD selaras dengan tujuan pembentukan DPD yaitu, pertama, memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.
Kedua menurut dia, meningkatkan agregasi dan akomodasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah.
“Ketiga, mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang,” tuturnya.
Dia menilai dengan keluarnya Putusan MK itu, KPU harus segera membuat aturan untuk melarang pengurus partai politik mendaftar sebagai calon anggota DPD.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya menegaskan bahwa anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik.
Putusan untuk perkara Nomor 30 ini kembali menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari partai politik.
Dalam pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah juga memberikan jawaban terkait dengan anggota partai politik yang pada saat ini juga menjabat sebagai anggota DPD.
Mahkamah dalam pertimbangannya mengakui bahwa ketentuan Pasal 182 huruf l UU Pemilu tidak tegas melarang anggota partai politik menjabat sebagai anggota DPD, meskipun putusan MK sebelumnya tetap menyebutkan bahwa anggota DPD tidak boleh diisi oleh anggota partai politik.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan