Dari kiri ke kanan: Aji Sulaiman, Sekjen PKB Abdul Kadir Karding, Ketua FSP RTMM SPSI Sudarto dan Direktur Indef Enny Sri Hartati, dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP) di Jakarta, Rabu (25/7). AKTUAL/ TEUKU WILDAN

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah perlu didorong menjaga industri padat karya. Selain untuk ketersediaan lapangan kerja, penjagaan itu juga demi keberlangsungan dan kepastian investasi di Indonesia.

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM SPSI) Sudarto mengatakan, dalam kurun waktu 9 tahun industri rokok kretek mengalami penurunan hingga 50%.

Pekerja yang paling berdampak adalah sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT). Pada umumnya, kata Sudarto, pekerja SKT adalah perempuan dengan pendidikan rendah.

“Tidak mungkin mereka bisa bersaing dengan yang lain jika ada kesempatan kerja,” ucapnya dalam diskusi yang diselengarakan oleh Forum Diskusi Ekonomi Politik (FDEP), Jakarta (25/7).

Menurut Sudarto, pekerja dengan karakter seperti itu memiliki jumlah yang sangat besar di Indonesia, dan ironisnya justru terus terancam.

Bahkan, kini ancamannya bukan sekedar potensi lagi. Perubahan karakter konsumen dan teknologi ditambah dengan kebijakan pemerintah membuat banyak industri menyesuaikan diri. Dampak penyesuaian itu lagi-lagi menyasar pekerja berketerampilan rendah.

Solusi untuk masalah itu tidak bisa satu sisi. Harus ada penyelesaian komprehensif agar tidak terkesan ada kebijakan tambal sulam.

Kasus penutupan ribuan pabrik SKT yang berujung PHK sedikitnya 32.000 pelinting adalah salah satu contoh. Pabrik-pabrik gulung tikar karena multifaktor. Perubahan regulasi pemerintah, kemajuan teknologi menjadi salah satu faktor pemicu penutupan itu.

“Berdasarkan cerita dari yang sudah di PHK, mereka dagang ini dagang itu, menjadi buruh cuci, itu mereka lakukan dari pada tidak kerja. Maka harus ada upaya preventif untuk melindungi industri ini,” ucap Sudarto.

Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Kadir Karding menyatakan, regulasi pemerintah menekan pelaku industri SKT dari berbagai sisi. Pemerintah terus menerus mengubah kebijakan cukai sehingga industri SKT dalam kondisi dilematis. Sebab, menaikkan produksi berarti meningkatkan porsi pembayaran cukai.

Peningkatan itu akan membebani keuangan sehingga sulit dipilih. Di sisi lain, pelaku industri SKT akan kesulitan menyediakan pasokan ke pasar jika tidak meningkatkan produksi.

“Tingginya harga rokok karena tingginya cukai menyebabkan pengurangan permintaan tembakau lokal, dan juga pengurangan tenaga kerja di SKT,” ucap Kading.

Kondisi itu juga menekan pelinting rokok kretek atau para pekerja SKT. Penghasilan mereka tergantung insentif yang dihitung dari seberapa banyak lintingan setiap hari.

“Jika produsen menahan produksi, insentif mereka juga akan tertahan,” katanya.

Sementara itu, Enny Sri Hartati ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan dari beberapa jenis rokok, SKT memberikan velue besar terhadap perekonomian Indonesia.

“Selama 2013-2017 jumlah penurunan SKT menurun 22,63%. Penurunan SKT itu mampu mempengaruhi PDB -0,82%, upah riil -1,24%, inflasi 0,41%, konsumsi rumah tangga -0.96%. “SKT perlu affirmative policy,” ucapnya.

Ekonom INDEF memberikan solusi atas penurunan SKT. Pertama, mengurangi PPh. Kedua, menyusun tarif cukai yang proposional, cukai SKT harus lebih rendah dari cukai SKM dan SPM golongan manapun. Ketiga, fasilitas dan intensif untuk mendorong ekspor.

“Serta meniadakan regulasi yang membebani industri kelas menengahnkecil agar mampu berkompetisi dengan industri besar,” ucapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan