Gedung yang hanya terletak sekitar 300 meter dari gedung lama tersebut rencananya akan mulai ditempati akhir 2015 atau awal 2016 tergantung penyelesaian dan kesiapan gedung yang memiliki tinggi 16 lantai. Gedung tersebut mulai dibangun sejak Desember 2013 dengan nilai kontrak Rp195 miliar direncanakan memiliki 70 ruang pemeriksaan dan gedung penjara yang mampu menampung 50 orang, 40 pria dan sepuluh wanita.

Jakarta, Aktual.com – Pengacara Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan menilai adanya anomali atau keanehan dari proses hukum kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang selalu diungkit setiap pergantian rezim pemerintahan di Indonesia.

Pasalnya sejak kasus ini mencuat pada 1998 hingga saat ini, hanya kliennya sajalah yang dipermasalahkan secara hukum dari banyaknya para obligior penerima BLBI.

“Setelah 20 tahun kemudian, BPK pada 2017 mengeluarkan hasil audit baru, yang mengatakan ada kerugian negara akibat pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas). Bagiamana ini bisa terjadi? Kalau kita punya hutang sudah diteken terus diproses lagi, bagaimana? Itu sebabnya saya katakan kalau tidak ada kepastian hukum,” kata Otto, di Jakarta, Rabu (25/7).

Otto menjelaskan, dalam laporan Audit BPK 2002 dan 2006 secara tegas menyatakan bahwa seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim telah selesai, karenanya SKL layak diberikan kepadanya.

Sebaliknya laporan Audit BPK 2017 sendiri didasarkan atas permintaan KPK melalui suratnya tertanggal 4 April 2017, dan hasil laporan baru dikeluarkan BPK pada tanggal 25 Agustus 2017, setelah Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 20 Maret 2017.

“Pemerintah harus berani memberikan keterangan kepada KPK tentang hal yang sebenarnya. Kami bukan minta pemerintah untuk intervensi tapi hanya minta klarifikasi bahwa kasus ini sudah selesai. KPK itu bagian dari pemerintah. Jangan sampai pemerintah sudah jamin tidak akan mengusut tapi diusut. Jangan sampai ada negara di dalam negara,” tegasnya.

Otto sendiri menilai laporan Audit BPK 2017 itu seharusnya batal demi hukum karena ada empat aspek penting terkait audit yang tidak terpenuhi di dalamnya. Keempat aspek tersebut, lanjut Otto adalah, tidak ada yang diperiksa atau auditeenya, tidak menaati azas asersi, yakni harus ada konfirmasi dari pihak yang diperiksa atau auditeenya, melanggar norma hukum (Per No. 1 BPK 2017) karena hanya didasarkan pada bukti-bukti sekunder, serta hanya didasarkan pada dugaan-dugaan.

“Sudah 20 tahun berlalu, penyelesaian kasus BLBI ini tidak pernah ada akhirnya. Selama ini klien kami berjuang untuk mendapatkan keadilan. Pak Sjamsul dan istri bukan tersangka, bukan buruan. Mereka sangat menghormati perjanjian MSAA. Terlebih lagi yang dipermasalahkan bukan hutangnya mereka tapi hutang petambak,” tandasnya.

Senada, Maqdir Ismail juga menyoroti unsur politik di balik penyelesaian kasus BLBI yang tidak ada ujungnya ini. “Setiap menjelang pemilu masalah ini selalu ribut. Penyelidikan diumumkan tahun 2003 dimulai di era Abraham Samad, kemudian puncak penyelidikan terjadi di era KPK baru. Isu BLBI selalu digunakan jadi kendaraan bagi orang-orang yang mengincar jabatan baru,” tukasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby