Pengacara Senior Maqdir Ismail (tengah) bersama Praktisi Hukum Refly Harun (kiri) dan Pengamat Hukum Tata Negara Bivtri Susanti (kanan) saat diskusi Perspektif Indonesia di Jakarta, Sabtu (13/2/2016). Diskusi bertema 'Ada Apa Lagi KPK ?' membahas mengenai revisi UU KPK dari kedudukan hingga pelaksanaan kerja.

Jakarta, Aktual.com – Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menilai tidak ada urgensi untuk membatasi masa jabatan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf N Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Menurutnya pembatasan itu hanya perlu diberlakukan bagi presiden saja.

“Kalau MK kemudian mengambil tafsir ini yang menurut saya logis dan rasional, maka dengan sendirinya wapres tidak perlu dibatasi,” ujar Refly di Bilangan Cikini Jakarta, Kamis (26/7).

Ia menjelaskan bahwa pembatasan masa jabatan itu hanya berlaku bagi para pemegang kekuasaan yang ditafsirkan dalam konstitusi sebagai presiden. Sedangkan wapres tidak mempunyai kekuasaan layaknya presiden.

“Jadi buat apa kita membatasi seseorang yang tidak memegang kekuasaan (wapres),” cetus Komisaris Utama Jasa Marga itu.

Wapres, kata Refly, sifatnya seperti menteri sebagai pembantu presiden tapi mempunyai kewenangan lebih khusus bisa menggantikan posisi presiden jika berhalangan.

Selain itu, beda menteri dengan wapres menurut lulusan UGM ini adalah cara pemberhentian wapres yang tidak boleh sembarangan. Presiden tidak boleh memberhentikan wapres sebagaimana memberhentikan menteri tetapi harus dengan mekanisme impeachment seperti pemberhentian presiden.

Sedangkan presiden, dijelaskan Refly harus tetap dibatasi dua periode. Sebab, itu menyangkut aspek kesejarahan dan maksud dari perumusan pasal 7 UUD 1945.

“Maksud pembatasan kekuasaan (presidem) itu karena ada trauma orde lama dan orde baru dimana (pernah) Bung Karno dan Pak Harto memegang kekuasaan secara otoriter sehingga perlu adanya pembatasan kekuasaan,” paparnya.

Refly juga sepakat dengan argumentasi gugatan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 yang diajukan oleh Jusuf Kalla dengan memakai teori pemegang kekuasaan. Pasalnya, argumentasi itu membuat tafsir terhadap konstitusi hidup atau yang biasa disebut the living constitution.

“Begitu pihak JK (menggugat MK) masuk dalam argumentasi teori tentang pemegang kekuasaan, saya sebagai orang Hukum Tata Negara tertarik karena itu yang kita sebut the living constitution. Dahulu yang kita anggap konstitusional, bisa jadi kemudian tidak konstitusional sekarang atau sebaliknya,” tuntasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan