Jakarta, Aktual.com – Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diisi pengurus partai politik (parpol), membuat lembaga tersebut semakin berwibawa.
Menurut Lucius, keputusan MK bernomor 30/PU ini menjadi pintu masuk bagi DPD agar lebih berwibawa sebagai lembaga tinggi negara karena diisi oleh wakil daerah yang bekerja khusus untuk daerah juga.
Dia mengatakan putusan tersebut secara substantif sudah menjawab kegalauan selama ini soal identitas lembaga perwakilan daerah.
Menurut dia mengembalikan identitas DPD itu sangat penting yaitu menegaskan karakter representasi DPD sebagai perwakilan teritorial, yang berbeda dengan DPR yang merupakan perwakilan politik.
“Akibat ketidaktegasn regulasi terkait identitas lembaga, DPD selama ini telah dikerdilkan sendiri oleh sebagian anggotanya yang justru mengaburkan substansi perwakilan mereka dengan membiarkan parpol menjadi bagian dari diri mereka,” ujarnya.
Dampaknya menurut dia, DPD semakin kerdil dan menjadi tidak bertaji sebagai lembaga tinggi negara karena selama ini menjadi sebuah lembaga yang nyaris tanpa kekuatan dalam proses pembuatan kebijakan nasional.
Lucius menilai melalui ketegasan substansi perwakilan yang melekat pada DPD sebagaimana menjadi pertimbangan MK dalam keputusannya, diharapkan DPD ke depannya benar-benar menjadi perwakilan daerah, yang sehari-harinya harus sibuk dan tenggelam dalam pembicaraan terkait daerah.
“Bergabungnya Parpol di DPD tidak memberikan efek positif untuk mengangkat kinerja DPD. alih-alih memperkuat, yang justru terjadi adalah DPD yang terus sibuk bermanuver diantara mereka untuk merebut kursi pimpinan,” katanya.
Dia mengatakan misi DPD harus pada membangun daerah sebagai jawaban atas kepercayaan daerah terhadap seorang anggota. Menurut dia, anggota DPD harus fokus dengan daerah sehingga tidak pernah boleh direcoki kepentingan politik tertentu yang justru mengganggu fokus perhatian DPD.
Karena itu dia menilai dengan terbebas dari perwakilan politik, suara DPD akan diperhitungkan sebagai suara daerah yang tidak bisa disepelekan oleh pusat demi keadilan dan pemerataan pembangunan.
“DPR sekalipun akan sulit melawan jika DPD membawa aspirasi daerah tanpa embel-embel politik tertentu,” ujarnya.
Karena itu dia menilai Putusan MK harus disambut sebagai momentum awal memurnikan DPD dari anasir politik yang menggerogotinya karena DPD sejak awal dibentuk untuk menampung kemajemukan aspirasi daerah yang tidak memadai jika hanya mengandalkan partai politik.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya menegaskan bahwa anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya tidak boleh diisi oleh pengurus partai politik.
Untuk selanjutnya, anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna di Gedung MK Jakarta, Senin (23/7).
Palguna mengatakan hal tersebut ketika membacakan pertimbangan Mahkamah atas permohonan uji materi Pasal 182 huruf l UU Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) dalam perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh seorang fungsionaris partai yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Putusan untuk perkara Nomor 30 ini kembali menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari partai politik.
Dalam pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah juga memberikan jawaban terkait dengan anggota partai politik yang pada saat ini juga menjabat sebagai anggota DPD.
Mahkamah dalam pertimbangannya mengakui bahwa ketentuan Pasal 182 huruf l UU Pemilu tidak tegas melarang anggota partai politik menjabat sebagai anggota DPD, meskipun putusan MK sebelumnya tetap menyebutkan bahwa anggota DPD tidak boleh diisi oleh anggota partai politik.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan