Oleh: Arif Dwi Purnomo
(Penulis Lepas Tinggal Di Eropa)

Menjelang tanggal 10 Agustus 2018 yang merupakan pendaftaran terakhir capres dan cawapres terlihat Prabowo Subianto (PS) begitu lelah dan muncul nuansa keputusasaan menghadapi manuver-manuver partai yang selama ini dianggap berseberangan dan siap bertarung dengan kubu Joko Widodo.

PS terbaca lelah berkopromi dengan PKS, Demokrat, dan PAN. Publik membaca ketiga partai tersebut yang seharusnya menjadi mitra strategis mengalahkan kubu Joko Widodo justru menambah beban bagi PS sendiri.

Partai koalisi PS di menit-menit jelang akhir pendaftaran terlihat tak lagi mengedepankan ide, gagasan dan militansi dalam berkoalisi, mereka lebih mementingkan target uang dan suara pileg 2019 ketimbang memenangkan PS pada kompetisi Pilpres 2019 mendatang.

PS menang atau kalah. Tidak ada urusan, begitulah kira-kira publik membaca partai-partai koalisi kubu PS. Yang terpenting bagi demokrat, AHY sudah naik namanya lewat membonceng PS.

Sementara PKS yang terpenting dapat uang dan menambah kursi di DPR, sementara PAN memainkan posisi aman, dan salah satu strategi akhirnya diprediksi merapat ke kubu Joko Widodo. Begitulah publik mengira-ngira.

Nalar strategi PS terlihat justru semakin buntu, alih-alih memacu semangat para pendukungnya dilapangan, PS terlihat semakin gamang menghadapi Pilpres 2019 ketika ujung-ujungnya PS hanya berpangku tangan pada kekuatan logistik semata.

Sebenarnya Joko Widodo tidaklah sekuat yang dibayangkan para kompetitornya, pasalnya selama ini kepemimpinan Joko Widodo empat tahun terakhir minim prestasi, utamanya soal ekonomi, bahkan semua janji-janjinya pada 2014 silam juga gagal total.

Secara logistik dan akses kekuasaan tentu kubu Joko Widodo memang hari ini kuat, namun secara elektabilitas di yakini Joko Widodo akan sangat mudah dilemahkan.

Joko Widodo terlihat kuat hanyalah fatamorgana belaka, sejatinya banyak rakyat, pelaku usaha dan jajaran birokrasi pemerintahan yang hari ini mengeluh dan kecewa. Apa yang di gembar gemborkan Partai pendukung dan relawan Jokowi di yakini tak akan mampu menaikkan elektabilitas Joko Widodo.

Namun sayangnya, Kubu penantang Joko Widodo juga melemah dan mengalami disorientasi, banyak dari kubu oposisi yang tersandera beban masa lalu, pragmatisme dan tidak punya militansi. Sehingga faktor inilah yang membuat Joko Widodo terlihat begitu kuat.

Seharusnya PS punya kemantapan hati dan strategi, bahwa Joko Widodo dapat dikalahkan dengan militansi, ide, gagasan dan tanpa beban masa lalu atau rekam jejak yang baik.

Seharunya PS menyakini bahwa logistik tidaklah satu-satunya untuk dapat memenangkan kompetisi di 2019 yang akan datang. Sebagaimana belajar dari kegagalan Najib Razak melawan Mahathir Mohamad pada pemilu di Malaysia kemaren.

Dapat dibandingkan kekuatan Mahatir tidak sebanding dengan Razak, baik secara kekuasaan dan logistik, ibarat 1 banding 40. Namun faktanya Mahatir menang dengan bermodalkan Militansi, Ide, Gagasan, rekam jejak, dan tanpa beban masa lalu.

Sebagai seorang prajurit, PS tak boleh surut kebelakang apalagi sampai mengibarkan bendera putih kepada Joko Widodo. Jika sampai detik akhir tak juga PS menemukan strategi mengalahkan Joko Widodo maju sebagai Capres, atau Maju sebagai Capres tapi berpotensi besar kalah karena berpasangan dengan AHY, sandiaga, atau Salim Segaf Al Zuhri.

Saatnya PS memakai strategi kedua dalam mengalahkan Joko Widodo, yakni mendukung orang lain dengan memberi mandat lewat partainya dengan syarat calon yang mampu selesaikan persoalan ekonomi makro maupun mikro, punya jiwa dan mampu menggerakkan semangat militansi, punya cara menaikkan elektabilitas, banyak ide dan gagasan membangun negara dan bangsa, rekam jejak yang baik dan tak punya beban masa lalu.

Seperti contohnya dengan memasang Ekonom Senior Dr. Rizal Ramli sebagai Capres di 2019 yang akan datang.

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan