Jakarta, Aktual.com – Misi Pendukung PBB di Libya pada Jumat (10/8) mengutuk pengusiran warga Tawergha yang menjadi pengungsi di dalam negeri mereka (IDP) dari Ibu Kota Libya, Tripoli, oleh pria bersenjata.

“PBB di Libya dengan keras mengutuk pengusiran paksa keluarga Tawergha yang kehilangan tempat tinggal dari Kamp Tariq Al-Matar pada ini, sehingga mereka kehilangan tempat tinggal untuk kedua kali dalam tujuh tahun,” kata misi tersebut di dalam satu pernyataan.

“Tindakan memasuki kamp IDP bersama saat orang sedang tidur, menghancurkan rumah dan memaksa orang untuk pergi, membuat mereka tak memiliki tempat tinggal melanggar martabat mereka dan hak mereka untuk memperoleh perlindungan berdasrkan Hukum Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia Internasional,” kata Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Libya Ghassan Salame.

Misi itu menyeru Pemerintah Libya agar “menyediakan tempat berteduh dan perlindungan buat IDP yang diusir, membebaskan mereka yang ditahan dengan semena-mena, dan menyeret orang yang diduga telah melakukan kejahatan ke pengadilan tanpa penundaan”.

Misi tersebut juga menyampaikan kesediaan untuk menyediakan bantuan kemanusiaan buat mereka yang terpengaruh dan bekerjasama dengan Pemerintah Libya dalam menyelesaikan krisis semua orang yang kehilangan rumah di negeri itu, demikian laporan Xinhua –yang dipantau Antara di Jakarta, Sabtu.

Perhimpunan Keluarga Syuhada, Orang Hilang, Tahanan dan Korban Twergha mengkonfirmasi di dalam satu pernyataan bahwa “60 pria bersenjata dan 20 kendaraan dengan jenis berbeda melancarkan serangan bersenjata terhadap kamp Tariq Al-Matar”.

Perhimpunan tersebut menambahkan pria bersenjata itu “menyerang kamp tersebut dan memasukinya saat fajar, meneror keluarga, perempuan, anak-anak dan orang tua dengan melepaskan tembakan secara membabi-buta, secara kasar menggeledah seluruh kamp dan mencuri harta”.

Selama aksi perlawanan 2011, sebagian warga Tawergha bersekutu dengan pasukan mantan pemimpin Libya Muammar Gaddafi melawan gerilyawan di Misurata, yang berdekatan. Mereka menyelamatkan diri ke kota lain di Libya setelah rejim Gaddafi digulingkan.

Kembalinya warga Tawergha, yang dijadwalkan berlangsung pada 1 Februari dihentikan setelah kelompok bersenjata dari Misurata tak memberi mereka izin masuk.

Misurata dan Tawergha, hanya terpisah 40 kilometer, pada Juni menandatangani kesepakatan perdamaian yang mengizinkan hampir 40.000 warga Tawergha pulang ke rumah mereka setelah tujuh tahun mengungsi.

Komite Nasional bagi Hak Asasi Manusia di Libya menyampaikan keprihatinan yang mendalam karena petugas keamanan dari Kementerian Dalam Negeri menyerbu kamp tersebut, mengungsikan orang yang kehilangan tempat tinggal, dan menangkap sebagian dari mereka.

Komite itu menyatakan meskipun kesepakatan perdamaian ditandatangani, Tawergha belum siap untuk menerima warga yang akan pulang, dan masih memerlukan pembangunan kembali.

Komite tersebut juga menuntut pemerintah membebaskan warga Tawergha yang ditahan, menjamin keselamatan orang yang mengungsi, menjamin bahwa perbuatan semacam itu tidak terulang, dan menyeret mereka yang bertanggung-jawab ke pengadilan.

Ant

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta